Wednesday, February 16, 2011

Contoh Proposal Metode Penelitian Kualitatif (Analisis Wacana Media Cetak)

“SIKAP SUARA MERDEKA TERHADAP ROB di SEMARANG”


Disusun Oleh :
Clara Novita Anggraini
D2C005145


JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008

A. Latar Belakang

Global warming menjadi sebuah fenomena yang sering dibicarakan belakangan ini karena dampak yang ditimbulkannya mengancam kehidupan manusia di bumi. "GLOBAL warming means dark future", demikian pendapat para ilmuwan terkemuka yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) ketika merilis laporannya, April 2007 lalu (www.bluefame.com). Begitu urgentnya masalah ini sehingga muncul sebuah film dokumenter box office berjudul "An Inconvenient Truth", yang di buat oleh Al Gore, eks wapres AS, yang mengangkat soal global warming (pemanasan global), dan memenangkan dua penghargaan Oscar tahun 2006. Kemunculan film ini dikatakan sebagai penggebrak gerakan untuk tidak diam saja pada global warming. Ditambah konser akbar "Live Earth" yang digelar salah satunya oleh Al Gore di 8 negara, Juli 2007 lalu, dengan penampilan sekitar 150 musisi internasional ternama, membuat gaung keberadaan global warming semakin santer terdengar dan banyak diulas di media.
Tak ketinggalan, negara berkembang seperti Indonesia sendiri turut mendukung semakin parahnya global warming. Kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan memacu industrialisme dan meningkatkan pola konsumsi masyarakat. Indonesia memiliki Industri karbon terbesar yaitu perusahaan tambang (migas, batubara dan yang terutama berbahan baku fosil), yang tidak lain adalah penghasil gas rumah kaca penyebab utama global warming. Dampak yang dirasakan Indonesia pun tidak sedikit, Indonesia tercatat pada rekor dunia ”Guinnes Record Of Book” sebagai negara yang tercepat
rusak hutannya (http://www.kimpraswil.go.id), selain itu banyaknya bencana yang belakangan menimpa Indonesia, sebut saja tsunami Aceh pada 2004, status awas Gunung Merapi Jogja 2006, dan banjir/rob di Jakarta Utara, Solo, serta Semarang saat ini.
Begitu dekat dampak global warming dalam keseharian kita, terutama rob di Kota Semarang. Berbagai efek ditimbulkan, terutama kegiatan ekonomi yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat. Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang menunjukkan, akibat abrasi, penurunan tanah, dan pemanasan global, sekitar 900 hektare tambak di Semarang rusak atau hilang dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Jika saat ini luas keseluruhan tambak 1.030,21 hektare, areal yang hilang telah mencapai hampir separuhnya. Banyak keluarga petani tambak yang kehilangan lapangan pekerjaaan putus sekolah dan beralih profesi menjadi buruh dengan keahlian yang sangat terbatas. Selain itu, beberapa desa pesisir di sekitar Semarang dan Demak berangsur-angsur tenggelam, diantaranya Desa Timbulsloko. Rob juga menggenangi jalan raya Semarang-Demak, sehingga memacetkan jalur pantura. Para pedagang di Pasar Johar juga seringkali harus merugi karena kawasan pasar yang tergenang rob. Secara umum, adanya rob menyebabkan kerusakan materi, seperti kerusakan infrastruktur, terganggunya aktivitas ekonomi, mempengaruhi dampak sosial serta moral masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Sudah selayaknya masyarakat peduli akan hal ini. Global warming yang mengancam keberlanjutan hidup manusia. Namun sayangnya, masih sangat sedikit yang mengerti dan peduli akan hal ini. Bahkan, penduduk yang menjadi korban, misalnya rob di Semarang, merasa bahwa banjir yang setiap hari menggenangi rumah mereka adalah bagian dari keseharian hidup mereka, karena sudah menjadi sebuah rutinitas. Upaya yang ditangani pemerintah dalam mengatasi banjir pun seringkali tidak efektif, karena seringkali solusi yang diberikan merupakan kebutuhan pemerintah, bukan kebutuhan masyarakat. Berbagai pembangunan terus dilakukan tanpa sadar telah menggunduli lahan-lahan serapan air. Bahkan rob seringkali hanya menjadi jualan politik para calon pilwalkot atau pilkada. Umbar janji merupakan hal yang biasa saat politikus mencari dukungan warga. Belum lama ini dapat kita lihat contohnya pada pilkada Jakarta 2007, dimana kedua calon menjanjikan akan mengatasi banjir di Jakarta jika terpilih menjadi gubernur. Adang Darajatun, yang mengambil tag line ”Jakarta Banjir Lagi? CAPE DEH” (http://toma-worldofbananas.blogspot.com/2007/08/fauzi-wibowo-vs-adang-daradjatun-battle.html) sebagai simbol janjinya untuk mengatasi masalah banjir Jakarta. Kemudian Fauzi Wibowo yang akhirnya terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta menjanjikan ”Jakarta yang lebih baik, semakin maju, aman, serta bebas banjir dan macet”. Namun sayangnya, belum begitu lama setelah kemenangannya, ketika didesak beberapa wartawan mengenai janji untuk mengatasi banjir Jakarta, sedikit mengelak, Fauzi menjawab “Tidak ada cara instan menyelesaikan masalah Jakarta” dalam sebuah dialog di salah satu stasiun TV swasta nasional (http://www.edo.web.id/wp/2007/11/02/republik-instan). Hal ini senada dengan janji Sukawi, wali kota Semarang saat ini, ketika kampanye pada pilwalkot Semarang 2004 yang menjanjikan penyelesaian masalah banjir akibat rob di kota Semarang. Namun pada kenyataannya, sampai saat ini tidak ada upaya serius dari pemerintahan Sukawi untuk mengatasi rob, yang terbukti dengan semakin parahnya rob dan hilangnya beberapa pesisir di sekitar Semarang, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.
Disinilah seharusnya peran media massa berada. Sebagai sarana komunikasi yang mempunyai fungsi edukasi; “Pada awalnya fungsi media adalah sebagai lembaga sosial yang mengedepankan kebutuhan masyarakat. Fungsi tersebut meliputi informasi, pendidikan, kontrol sosial dan hiburan hanyalah sebagai fungsi terakhir dari sekian banyak fungsi media massa.” ( AM Wibowo S.Sos, www.suaramerdeka.com, 2 November 2007). Media harusnya memberikan apa yang dibutuhkan masyarakat, bukan apa yang diinginkan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat sangat membutuhkan solusi atas permasalahan yang di timbulkan oleh global warming, baik berupa bantuan fisik dan moril. Disinilah peran edukasi dan informasi media berjalan. Suara Merdeka, koran lokal dalam hal ini, cukup konsen terhadap permasalahan rob Semarang dalam pemberitaannya.
Carl I Hovland dalam situs yang sama mengungkapkan bahwa pengaruh media massa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat mempunyai andil dalam mengubah tingkah laku maupun psikologi manusia. Oleh karena itu kita mengenal teori jarum hipodermik atau magic bullet (peluru ajaib). Lewat fungsi edukasi media masyarakat akan paham dan peduli pada global warming serta mengambil sikap untuk melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan terhadap dampak yang telah dan akan terjadi. Di tambah lagi, seperti yang dipaparkan dalam sebuah artikel yang membahas mengenai fungsi media, media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan 'merekonstruksikan realitas sosial', sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat (www.kunci.or.id). Ketika kualitas suatu masyarakat buruk, maka begitu pula dengan medianya. Oleh karena itu, mengingat urgentnya masalah dampak yang ditimbulkan global warming bagi kelangsungan hidup manusia, sangat dibutuhkan peran aktif media untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terhadap permasalahan global warming, khususnya masalah rob di Semarang. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap media mempunyai ”kepentingan” sesuai dengan ideologinya sendiri. Begitu juga dengan Suara Merdeka, sebagai koran lokal yang mencoba konsen terhadap permasalahan rob di Kota Semarang.
Media dan teks berita yang dihasilkannya memiliki posisi dan pandangan tersendiri menurut paradigma konstruksionis. Peter L. Berger menyebut realitas sebagai sesuatu yang tidak dibentuk secara ilmiah, tetapi ia dibentuk dan dikonstruksi. Realitas disini berwajah ganda, setiap individu dengan pengalaman, preferensi, pendidikan, lingkungan pergaulan atau sosial tertentu bisa memiliki penafsiran atas realitas sosial dengan konstruksi yang berbeda-beda. Dalam konteks berita, sebuah teks berita harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas dimana peristiwa yang sama sangat mungkin dikonstruksi secara berbeda. Wartawan sangat mungkin memiliki pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana mereka menkonstruksi peristiwa tersebut dan diwujudkan dalam teks berita. Berita dalam pandangan konstruksi sosial merupakan produk interaksi wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas, yang kemudian diamati dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi mengenai fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut.
Pandangan konstruksionis memiliki penilaian tersendiri dalam melihat media, wartawan, dan berita. Penilaian tersebut antara lain:
Pertama, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Realitas hadir karena dipresentasikan oleh konsep subjektif wartawan, yang tercipta melalui konstruksi dan pandangan tertentu. Menurut Herbert J. Gans, realitas dapat beraneka rupa, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. Pikiran dan konsepsi kitalah yang membentuk dan mengkreasikan fakta, sehingga bisa jadi fakta yang sama menghasilkan fakta yang bereda-beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda.
Selanjutnya pandangan konstruksionis menyebut media sebagai agen konstruksi. Media sangat berperan dalam membentuk realitas. Ia bukan sekadar saluran yang bebas, tapi ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Berita yang dihadirkan media bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Media memilih realitas mana yang diambil dan mana yang ditinggalkan. Media juga menyeleksi siapa-siapa saja yang menjadi sumber berita dan dalam kapasitas apa ia berperan sebagai sumber berita. Media bukan hanya sebagai media lalu lintas pesan dimana masing-masing aktor saling berdiskusi dan berinteraksi, tapi ikut pula berperan dalam menentukan siapa yang boleh dan berhak bicara serta untuk apa seseorang berbicara.
Ketiga, pandangan konstruksionis menilai berita sebagai konstruksi dari realitas. Berita ibarat sebuah drama, ia adalah potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita bukanlah cermin dari realitas, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideology, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Pemahaman dan pemaknaan atas fakta mempengaruhi bagaimana realitas dapat dijadikan sebuah berita. Proses pemaknaan ini selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita dikatakan sebagai cermin dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena cara melihat yang berbeda tersebut.
Keempat, berita dinilai bersifat subjektif. Sebagai produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas, maka opini tidak dapat dihilangkan. Konstruksi dan pemaknaan wartawan sarat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Penempatan sumber berita yang lebih menonjol dibandingkan sumber lain, menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain, meliput hanya dari satu sisi, tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok, dinilai sebagai bagian dari praktik jurnalistik yang sah.
Kelima, pandangan konstruksionis melabelkan wartawan sebagai agen konstruksi realitas, bukan pelapor. Dalam memindahkan realitas ke dalam berita, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya karena ia sendiri adalah bagian intrinsic dalam pembentukan berita tersebut. Realitas bersifat subjektif, yang terbentuk melalui pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan. Menurut Judith Lichtenberg, realitas hasil konstruksi itu selalu terbentuk melalui konsep dan kategori yang kita buat, kita tidak bisa melihat dunia tanpa kategori dan tanpa konsep. Hal ini berarti, apabila seorang wartawan menulis berita, ia sebetulnya membuat dan membentuk dunia, membentuk realitas. Dalam konsepsi konstruksionis, wartawan tidak mungkin membuat jarak dengan objek yang hendak ia liput. Ketika wartawan meliput suatu peristiwa dan menuliskannya, ia secara sengaja atau tidak menggunakan dimensi perseptuilnya ketika memahami masalah. Dengan begitu, realitas yang kompleks dan tidak beraturan ditulis dan dipahami, dan untuk semua proses itu melibatkan konsepsi, melibatkan pemahaman yang mau tidak mau sukar dilepaskan dari unsur subjektifitas. Realitas yang terbentuk dalam pemberitaan adalah transaksi antara wartawan dengan sumber dan lingkungan sosial yang membentuknya. Water Lippman menyatakan bahwa dalam proses kerjanya wartawan bukan sekedar melihat kemudian menyimpulkan dan menulis, tetapi lebih sering terjadi adalah menyimpulkan kemudian melihat fakta apa yang ingin dikumpulkan di lapangan. Wartawan memilih mana fakta yang diperlukan dan mana yang tidak. (Eriyanto,2002)

B. Rumusan Masalah

Akibat global warming, diperkirakan terjadi kenaikan muka air laut 50 cm pada tahun 2100 (IPCC, 1992). Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, peningkatan muka air laut (Sea Level Rise) akan membawa dampak negatif yang cukup signifikan, seperti : tenggelamnya permukiman dan prasarana wilayah, lahan pertanian, tambak, resort wisata, dan pelabuhan. Diproyeksikan 3.306.215 penduduk akan menghadapi masalah pada tahun 2070. Lima kota pantai (Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makasar) akan menghadapi masalah serius karena kenaikan muka air laut setinggi 60 cm (ADB, 1994).
Inilah yang sedang terjadi di Semarang. Rob (naiknya permukaan air laut) cukup mengancam kelangsungan hidup warganya dari berbagai aspek. Walaupun rob adalah fenomena yang bersifat alami, tetapi meminimalisasi dampak merupakan upaya yang dapat dilaksanakan dalam berbagai wujud kegiatan. Sudah selayaknya kita memberi perhatian yang khusus terhadap dampak serius yang ditimbulkan rob. Sayangnya, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, sedikit sekali orang-orang yang mau peduli dan mengerti akan masalah rob, padahal aktifitas manusia adalah penyebab utama semakin parahnya global warming yang mengakibatkan rob.
Salah satu alternatif yang sangat efektif untuk mengkomunikasikan urgentnya global warming adalah melalui media. Fungsi edukasi media harusnya dapat berjalan disini. Mengingat dampak global warming sangat dekat dengan masyarakat Semarang. Selain itu, upaya yang dilakukan pemerintah nyata tidak bisa menjadi solusi, seringkali rob hanya dimanfaatkan untuk ”jualan politik” sewaktu berkampanye. Suara Merdeka, sebagai koran lokal yang konsen menyoroti masalah ini, bagaimana menyikapinya? Apa konstruksi sosial yang coba dibangunnya? Dan mengapa melakukannya? Untuk itulah penulis mengambil judul “Sikap Suara Merdeka terhadap Rob di Semarang”.

C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap konstruksi peran serta Suara Merdeka terhadap rob di Semarang dalam pemberitaannya.

D. Kerangka Teori
a. Agenda setting
Menyatakan bahwa media massa, dengan memperhatikan pada beberapa isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan mempengaruhi opini publik. Orang cenderung mengetahui tentang hal-hal yang disajikan oleh media massa dan menerima susunan prioritas yang ditetapkan media massa terhadap berbagai issu tersebut. Agenda setting menghidupkan kembali model jarum hipodemik, dengan pergeseran focus dari efek pada sikap dan pendapat kepada efek kesadaran dan efek pengetahuan. Asumsi dasar teori ini menurut Cohen (dalam Ardianto dan Ardinaya, 2005) adalah membentuk persepsi khalayak tentang apa yang di danggap penting. Dengan tehnik pemilihan dan penonjolan, media memberikan test case tentang isu apa yang lebih penting (betty-soemirat dalam ardianto-ardinaya, 2005).
Asumsi model agenda setting ini mudah untuk di uji. Dasar pemikirannya adalah diantara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang lebih mendapat perhatian dari media massa akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya, akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan akan jadi sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media massa. Oleh karena itu, model agenda setting menekankan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media massa pada suatu persoalan yang diberikan khalayak pada persoalan tersebut. Dengan kata lain, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting oleh khalayak. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Efek dari model agenda setting terdiri atas efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung berkaitan dengan apakah isu itu ada atau tidak ada dalam khalayak, dari semua isu, mana yang dianggap paling penting oleh halayak, sedangkan efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan seperti memilih kontestan pemilu atau aksi protes.

b. Analisis framing
Analisi framing mengkaji representasi sosial yang dikemukakan media untuk mengetahui realitas apa saja yang dipilih oleh suatu media, bagaimana media melibatkan, menonjolkan, menyembunyikan, dan menghilangkan suatu realitas sosial, serta mengapa media melakukan semuanya.
Proses analisis ini dibagi menjadi empat bagian:
1. Frame Bulding (Bangunan Bingkai/Frame)
Studi-studi ini mencakup tentang dampak faktor-faktor seperti pengendalian diri terhadap organisasi, nilai-nilai profesional dari wartawan, atau harapan terhadap audiens terhadap bentuk dan isi berita. Meskipun demikian, studi ini belum mampu menjawab bagaimanakah media dibentuk atau tipe pandangan/analisis yang dibentuk dari proses ini. Oleh karena itu, diperlukan sebuah proses yang mampu memberikan pengaruhnya terhadap kreasi atau perubahan analisa dan penulisan yang diterapkan oleh wartawan.
Frame building meliputi kunci pertanyaan: faktor struktur dan organisasi seperti apa yang mempengaruhi sistem media, atau karakteristik individu wartawan seperti apa yang mampu mempengaruhi penulisan sebuah berita terhadap peristiwa. Gans, Shoemaker, dan Reeses menyarankan minimal harus ada tiga sumber-sumber pengaruh yang potensial. Pengaruh pertama adalah pengaruh wartawan. Bentuk analisa wartawan dalam menulis sebuah fenomena sangat dipengaruhi oleh varibel-variabel, seperti ideologi, perilaku, norma-norma profesional, dan akhirnya lebih mencirikan jalan wartawan dalam mengulas berita.
Faktor kedua yang mempengaruhi penulisan berita adalah pemilihan pendekatan yang digunakan wartwan dalam penulisan berita sebagai konsekuensi dari tipe dan orientasi politik, atau yang disebut sebagai “rutinitas organisasi”.
Faktor ketiga adalah pengaruh dari sumber-sumber eksternal, misalnya aktor politik dan otoritas.

2. Frame setting (Pengkondisian Framing)
Frame setting didasarkan pada proses identifikasi yang sangat penting. Frame setting termasuk dalam salah satu aspek agenda setting. perbedaannya, agenda setting lebih kepada isu-isu yang penting. Sedangkan frame setting, agenda setting tingkat kedua, lebih menekankan pada atribut isu-isu penting. Level pertama dari agenda setting adalah tarnsmisi objek yang penting, sedangkan tingkat kedua adalah transmisi atribut yang penting.

3. Individual-Level Effect of Framing (Tingkat Efek Framing terhadap Individu)
Tingkat pengaruh individual terhadap seseorang akan membentuk beberapa variabel perilaku, kebiasaan, dan variabel kognitif lainnya dengan menggunakan black-box model (model kotak hitam). Studi ini terfokus pada input dan output, dan dalam kebanyakan kasus, proses yang menghubungkan variabel-variabel kunci diabaikan.
Kebanyakan penelitian melakukan percobaan pada nilai keluaran framing tingkat individu. Meskipun telah memberikan kontribusi yang penting dalam menjelaskan efek penulisan berita di media dalam hubungannya dengan perilaku, kebiasaan, dan variabel kognitif lainnya, studi ini tidak mampu menjelaskan bagaimana dan mengapa dua variabel dihubungkan satu sama lain.

4. Journalist as Audience (Wartawan sebagai Pendengar)
Wartawan diharapkan sebaiknya dapat berperan sebagai orang yang mendengarkan analisa pembaca agar ada timbal balik ide, sehingga analisa wartawan tidak dianggap paling benar dan tidak ada kelemahan.

c. Analisis wacana kritis
Dalam analisis wacana kritis, wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk di analisis, tetapi bahasa yang dianalisis disini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk didalamnya praktik kekuasaan.
Menurut Fairclough dan Wodak (dalam Eriyanto, 2006), analisis wacana kritis melihat wacana-pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan –sebagai bentuk dari praktik social. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideology: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas, melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi social yang ditampilkan. Melalui wacana, sebagai contoh, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari kehidupan social dipandang sebagai suatu common sense, suatu kewajaran,/alamiah, dan memang seperti itu kenyataanya. Analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Berikut karakteristik penting dari analisis wacana kritis:
1. Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman semacam ini, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, bereaksi, dan sebagainya. Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil.kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang diluar kendali atau diekspresikan sesuai kesadaran.

2. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks seperti wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi.wacana disini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook (dalam Eriyanto, 2006), analisis wacana juga memeriksa dari konteks komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak.

3. Histories
Menempatkan wacana dalam konteks social tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Oleh karena itu pada waktu melakukan analisi perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau di kembangkan seperti itu, dan seterusnya.

4. Kekuasaan
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power) dalam analisisnya. Disini, tiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Analisis wacana krisis tidak membatasi dirinya pada detail teks dan atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya tertentu.

5. Ideology
Ideology juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini kerena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktek ideology atau pencerminan dari ideology tertentu. Teori-teori klasik tentang ideology diantaranya mengatakan bahwa ideology di bangun oleh kelompok dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan memepersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar.
E. Metodologi Penelitian
a) Metodologi penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis framing, yaitu mengkaji representasi sosial yang dikemukakan media untuk mengetahui realitas apa saja yang dipilih oleh suatu media, bagaimana media melibatkan, menonjolkan, menyembunyikan, dan menghilangkan suatu realitas sosial, serta mengapa media melakukannya.

b) Teknik pengumpulan data
Teknik penelitian yang digunakan adalah melalui wawancara mendalam dan telaah pustaka.
1. Wawancara
mengumpulkan data dan informasi langsung dari peneliti kepada subjek penelitian.
2. Metode Pengamatan
Mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda, waktu, peristiwa, tujuan, dan perasaan.
3. Dokumen
Mengumpulkan data melalui dokumen umum, jurnal, surat, koran, dan lain-lain.


Note:
Copy Paste tanpa menyebutkan sumber adalah plagiat (menurut UU denda 200 juta rupiah dan atau 2 tahun hukuman penjara). Pakailah contoh ini hanya sebagai contoh untuk dipelajari pola penulisan atau ditelusuri sumber ilmiahnya, jangan di copy paste! Jika ada yang menyalahgunakan termasuk plagiat pada tulisan Saya, tidak akan berkah, Anda akan mengalami kerugian yang lebih besar. Camkan itu. Selamat belajar hidup :)


#literasimediaclara



Daftar Pustaka

Pemanasan Global, Tragedi Peradaban Modern, http://www.walhi.or.id, 5 Juni 2006
Mufid A. Busyairi, Global Warming dan Keamanan Pangan Indonesia, http://www.tempointeraktif.co.id ,Selasa, 15 Mei 2007
Menteri Kimpraswil, http://www.kimpraswil.go.id, Kompas 8 Agustus 2002
AM Wibowo S.Sos, www.suaramerdeka.com, 2 November 2007
Rubrik kampus, pikiran rakyat, www.bluefame.com, 6 sept' 07

www.kunci.or.id

www.loenpia.com

Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. 2002. Yogyakarta: LkiS

Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. 2006. Yogyakarta: LkiS

Ardianto, Drs. Elvinaro - Erdinaya, Dra. Lukiati Komala. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. 2005. Jakarta: Simbiosa Rekatama Media

No comments:

Tak SebeNing Namamu

Ning, konon begitu namamu Itu yang kudengar dari angin yang berhembus kencang Ning, sayang nasib tak  begitu ramah menghampirimu Gentar sese...