Monday, October 29, 2012

Pemuda



 (Refleksi Sumpah Pemuda)

Pemuda bukan titisan dewa
Dewa yang menerjang asa dan simpuh pada silau-silau
Dewa yang berdekap durjana memadu nafsu
Pemuda adalah tegak
Tegak diatas kejujuran meski riak duri sesayu menari
Pemuda bukan diam
Lantang pikir bermerdu dzikir menyeruak rupa-rupa detik
Pemuda tidak satu dan berhenti
Pemuda pelangi disetiap tetes hujan
Kian menderas memaku lamat sesayat resolusi
Pemuda bukan banjir
Banjir irama kerlap-kerlip sayup di temaram malam
Pemuda terus menggoyang!
Menelisik benang putih perak menembus liang tiran
Pemuda adalah punggawa
Membahu merenda zamrud persembahan merah putih jaya
Karena Pemuda adalah cinta
Cinta yang kasih memeluk hangat manfaat

Plb, 240411, lovely home

Diam (Kepadamu yang Lebih Memilih Diam)




Diam itu bukan emas!
Diam itu hitam
Hitam mengaburkan kebenaran
Hitam membungkus para pahlawan
Menghitamkan hati menjadi borok dan nanah perlahan
Diam itu bukan tenang
Diam adalah sebuah ketakutan
Diam adalah selemah-lemah iman
Diam itu bukan bisu
Diam adalah penghambaan dalam pada tiran
Diam berarti mencari aman
Diam itu celaka
Kejam mencelakai nasib-nasib yang bergantung padanya
Celakalah ia membunuh keberadaaan TuhanNya
Diam adalah amnesia!
Amnesia pada tugasnya sebagai punggawa semesta

Palembang, 260411, 10:09 waktu laptop

Monday, October 22, 2012

Kontrak Belajar




Oleh: Clara Novita Anggraini, S.I.Kom

Anda pasti tidak asing lagi dengan kontrak belajar. Hampir kita semua pernah mengecapnya, baik ketika kuliah maupun sekolah. Tetapi kontrak belajar dalam tulisan ini mengambil sisi yang berbeda, bukan dari sisi yang dikenai, melainkan yang mengenai. Benar sekali, kontrak belajar untuk para guru. Cerita ini terjadi ketika saya berkesempatan mengisi pelatihan guru-guru di gugus sekolah penempatan. Materi yang diminta adalah Pembelajaran Berbasis IT, Pembelajaran Inovatif, dan Pembuatan RPP. Bersama seorang teman yang masih satu kecamatan, saya berbagi tugas menjadi pemateri.
Mengingat kami berada di pelosok Indonesia, permasalahan utama yang akan kami hadapi mungkin mudah di tebak, yaitu mental para guru yang akan kami beri pelatihan. Di tambah lagi, pelatihan ini dilakukan berdasarkan proyek KKG yang dananya berhasil dicairkan. Mau tidak mau harus dilakukan, karena pertanggungjawabannya sudah diminta. Kami menghadapi para guru senior yang usianya jauh di atas kami (bahkan lebih tua dari orang tua kami), pilihan dari sekolahnya, dan dibayar untuk mengikuti pelatihan ini. Benar saja, berbagai benturan kemudian terjadi selama pelaksanaan pelatihan.
Pertama, saat kami mnyampaikan kontrak belajar selama pelatihan. Kalau dulu saya pernah mengalami shock karena bertemu seorang pembicara yang merokok sambil memberikan materi saat mengikuti Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa tingkat fakultas, disini saya bertemu satu ruangan penuh peserta guru laki-laki merokok. Tidak bisa dipungkiri hal ini  didahului oleh pemateri sebelumnya yang memiliki predikat senior dicivitas pelatihan. Subhanallah. Wow! Bisa anda bayangkan bagaimana rasanya masuk ke sebuah ruangan yang penuh dengan asap rokok, padahal anda akan melakukan aktivitas belajar. Salah satu point di kontrak belajar meminta para peserta untuk tidak merokok selama mengikuti pelatihan. 
Berbagai protes muncul sewaktu point tidak merokok ini disampaikan. Hingga kemudian saya bertanya: “Kalau boleh tahu kenapa bapak-bapak keberatan dengan point ini?” Salah seorang guru menjawab: “Saya itu tidak bisa konsentrasi kalau tidak merokok”. “Oh begitu, bagaimana kalau saya katakan kalau saya tidak bisa konsentrasi kalau saya menghirup asap rokok?”, tandas saya. Guru itu tersenyum, tetapi ada komentar lain dari pojok belakang: “Tidak usah saja kalau begitu ni!”. Refleks saya menjawab: “Oke, ya sudah kalau begitu kita sepakati, yang mau merokok silahkan tidak usah ikut saja, silahkan keluar. Ini peraturan pelatihan standar nasional, kalau Dompu mau maju, kita ikuti standar nasional”. Dalam hati saya deg-deg an setengah mati, tapi ini sudah saya persiapkan, masyarakat Dompu harus dididik. Salah satu penyebab tidak dikenalnya Dompu adalah masyarakatnya tidak mau membuka diri. Mereka harus melek, bahwa bukan hanya Dompu saja peradaban di dunia ini, sehingga pemikiran mereka dapat terbuka dan membawa kemajuan di Dompu.
Selanjutnya tentu saja ada percobaan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Beberapa saat setelah disepakatinya kontrak, setelah jeda istirahat, dan diwaktu menjelang pulang. Ketika hal ini terjadi, saya kembali menanyakan kesiapan para guru untuk mengikuti pelatihan: “Guru hebat!”, sapaan ini akan dijawab dengan kata: “Siap!”. Saya ulangi beberapa kali sampai semua guru menjawab dengan semangat. “Apakah sudah siap belajar?”, lanjut saya. Kebanyakan dari mereka menjawab sudah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Kemudian secara mendadak saya beri instruksi: “Oke, kami beri waktu lima menit. Yang masih mengobrol silahkan selesaikan, yang merokok, yang ingin ke belakang, makan, dan minum. Tapi setelah lima menit kita komitmen sudah rapi ya, dipersilahkan”. Para peserta bengong dan langsung diam. Tapi saya komitmen, lima menit. Mungkin saya kelewatan memperlakukan mereka sama persis seperti murid saya. Tapi biarlah saya berikan shock culture, mereka harus tahu, harus bisa tertib. Bagaimana dengan siswanya kalau gurunya seperti ini? Meskipun saya yakin mereka sangat handal menertibkan murid dengan metode menjewer, menampar, meninju, hingga menendang. Ah, mereka harus tahu, bahwa ada cara yang lebih hemat energi untuk menertibkan siswa.
Beberapa waktu sebelum pelatihan 4 hari ini dimulai, seorang guru bercerita pada saya. “Dulu waktu  pelatihan, selesainya bisa sampai jam 3 sore dalam sehari. Tapi bisa juga dipadatkan, misalnya menjadi sabtu dan minggu saja”. Dari obrolan ini saya berpikir, waktu normal pelatihan adalah jam 8 pagi sampai dengan jam 3 sore selama 4 hari, dipadatkan menjadi sabtu minggu hanya sampai sore. Samakah?! Tapi obrolan ini cukuplah memberi tahu saya perihal waktu dalam pandangan para guru Dompu. Sebagaimana perkiraan saya, sedikit kericuhan terjadi. Ketika membagikan kertas bekas setelah jeda istirahat untuk praktek membuat display kelas, ada seorang guru senior laki-laki yang bertanya: ”Ini sampai jam berapa pelatihannya Bu Clara?”. “Di jadwal sampai jam 3 Pak”, jawab saya. Si guru kembali menjawab: “ Kemarin cuma sampai jam setengah dua ni!” Spontan saya menjawab: “Begitu, jadi mau dikorupsikan waktunya?”. Si guru juga spontan menjawab: “Yaa bukan begitu juga…”. Terdengar dengungan dari penjuru kelas. “Tidak apa-apa pak, bapak dan ibu guru sekalian, ini kan pelatihan untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, kami hanya fasilitator, jika memang ingin pulang cepat ya tidak apa-apa, kita sepakati saja. Yang punya kepentingan disini kan bapak dan ibu guru sekalian, bukan kami”, tanggap saya mencoba demokratis. Sesi percakapan ini kemudian diakhiri dengan pendapat seorang guru senior perempuan: “Tanya panitia saja selesai jam berapa”. Panitia menginstruksikan pelatihan selesai jam 14.30, setengah jam lebih cepat dari jadwal. Tapi tenang, kegiatan praktek di pelatihan membuat waktu tidak terasa berlalu. Para guru asyik mengerjakan display kelas hingga pukul 15.00. Jadilah pelatihan hari itu selesai pukul 15.10 WITA, he he. Saya berharap, semoga setiap guru bisa mengambil hikmah dari pelatihan hari ini. 
Hari terakhir pelatihan tiba. Jadwal terakhir adalah micro teaching dari RPP yang sudah di buat secara perkelompok. Karena waktu tidak cukup, akhirnya evaluasi micro teaching untuk guru kelas (guru olah raga di ruang berbeda) ditunda setelah ishoma, lagipula jadwal penutupan diundur hingga pukul 14.00, menunggu pejabat UPTD datang. Tapi ternyata pejabat Diknas Kabupaten lebih cepat datang. Maka sedikit keributan kembali terjadi ketika saya meminta guru kelas kembali masuk kelas untuk mulai evaluasi. Beberapa guru olah raga mulai gelisah karena terancam penutupan tidak segera dilaksanakan, ini berarti mereka tidak jadi pulang cepat. Dari jauh saya menyaksikan kegelisahan itu. Panitia datang ke kelas kami untuk membatalkan evaluasi dan langsung masuk ke kelas penutupan acara. Alhamdulillah protes datang dari para peserta sendiri. “Kalau tidak dievaluasi, bagaimana kami tahu yang kami kerjakan benar atau tidak, kami minta waktu sebentar saja”, ujar para guru kelas kepada panitia yang akhirnya mempersilahkan.
Tapi tidak semudah itu, tiga guru senior olah raga laki-laki bergantian menginterupsi, menyalahkan kami dan memerintahkan segera mengakhiri kegiatan. Bukan hanya guru ternyata, pejabat UPTD yang sudah datang juga turut menginterupsi dengan masuk ke ruangan dan berjalan-jalan dengan gelisah. Aaaarrgghhh, suasana apa ini? Evaluasi mau tidak mau tersendat-sendat, tidak konsentrasi. Para peserta pelatihan memandangi kami dengan ekspresi tidak enak dan meminta maaf. Saya dan teman semakin belepotan berbicara. Ketika ada yang menginterupsi lagi dari depan pintu saya berkata: “Bukan kami pak yang mau, guru-guru sendiri yang minta dievaluasi”. Maka penginterupsi itu pun mundur.
Pada akhirnya, evaluasi micro teaching tuntas dengan tidak memuaskan. Setelah buru-buru di tutup dan meminta maaf kami segera meminta para guru untuk pindah kelas. Sambil membereskan barang-barang pelatihan teman saya bertanya sinis, “Kita juga harus ikut penutupan ya?!” Saya tersenyum dan berkata: “Lembo ade” (harap maklum), kita sudah beberapa kali mengalami, pejabat itu tidak bisa menunggu, he he”.
Sampai di tempat penutupan, saya agak terkejut dengan tanggapan Diknas Kabupaten, bertolak belakang dengan yang saya bayangkan. Usut punya usut, ternyata pejabat Diknas Kabupaten menginstruksikan untuk menyelesaikan terlebih dahulu evaluasi dan bersedia menunggu. Lalu siapa yang ternyata tidak sabaran dengan memakai pejabat Diknas sebagai alasan? Para guru olah raga. Hmm, saya hanya senyum-senyum saja ketika sampai dua hari kemudian masih ada yang mengeluhkan: “Sebenarnya kemarin itu harusnya dituntaskan dulu evaluasinya, guru-guru olah raga ini yang tidak sabar, mereka taunya makan dan minta uang saja!”. Ups, sudah beberapa orang berkata begini. Lalu dengan santai saya menjawab:” Iya bu… lembo ade”. Seperti biasa, permasalahan seberat apapun di Dompu biasa diselesaikan dengan dua kata saja: “Lembo Ade”.

Kontrak Belajar




Oleh: Clara Novita Anggraini, S.I.Kom

Anda pasti tidak asing lagi dengan kontrak belajar. Hampir kita semua pernah mengecapnya, baik ketika kuliah maupun sekolah. Tetapi kontrak belajar dalam tulisan ini mengambil sisi yang berbeda, bukan dari sisi yang dikenai, melainkan yang mengenai. Benar sekali, kontrak belajar untuk para guru. Cerita ini terjadi ketika saya berkesempatan mengisi pelatihan guru-guru di gugus sekolah penempatan. Materi yang diminta adalah Pembelajaran Berbasis IT, Pembelajaran Inovatif, dan Pembuatan RPP. Bersama seorang teman yang masih satu kecamatan, saya berbagi tugas menjadi pemateri.
Mengingat kami berada di pelosok Indonesia, permasalahan utama yang akan kami hadapi mungkin mudah di tebak, yaitu mental para guru yang akan kami beri pelatihan. Di tambah lagi, pelatihan ini dilakukan berdasarkan proyek KKG yang dananya berhasil dicairkan. Mau tidak mau harus dilakukan, karena pertanggungjawabannya sudah diminta. Kami menghadapi para guru senior yang usianya jauh di atas kami (bahkan lebih tua dari orang tua kami), pilihan dari sekolahnya, dan dibayar untuk mengikuti pelatihan ini. Benar saja, berbagai benturan kemudian terjadi selama pelaksanaan pelatihan.
Pertama, saat kami mnyampaikan kontrak belajar selama pelatihan. Kalau dulu saya pernah mengalami shock karena bertemu seorang pembicara yang merokok sambil memberikan materi saat mengikuti Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa tingkat fakultas, disini saya bertemu satu ruangan penuh peserta guru laki-laki merokok. Tidak bisa dipungkiri hal ini  didahului oleh pemateri sebelumnya yang memiliki predikat senior dicivitas pelatihan. Subhanallah. Wow! Bisa anda bayangkan bagaimana rasanya masuk ke sebuah ruangan yang penuh dengan asap rokok, padahal anda akan melakukan aktivitas belajar. Salah satu point di kontrak belajar meminta para peserta untuk tidak merokok selama mengikuti pelatihan.
Berbagai protes muncul sewaktu point tidak merokok ini disampaikan. Hingga kemudian saya bertanya: “Kalau boleh tahu kenapa bapak-bapak keberatan dengan point ini?” Salah seorang guru menjawab: “Saya itu tidak bisa konsentrasi kalau tidak merokok”. “Oh begitu, bagaimana kalau saya katakan kalau saya tidak bisa konsentrasi kalau saya menghirup asap rokok?”, tandas saya. Guru itu tersenyum, tetapi ada komentar lain dari pojok belakang: “Tidak usah saja kalau begitu ni!”. Refleks saya menjawab: “Oke, ya sudah kalau begitu kita sepakati, yang mau merokok silahkan tidak usah ikut saja, silahkan keluar. Ini peraturan pelatihan standar nasional, kalau Dompu mau maju, kita ikuti standar nasional”. Dalam hati saya deg-deg an setengah mati, tapi ini sudah saya persiapkan, masyarakat Dompu harus dididik. Salah satu penyebab tidak dikenalnya Dompu adalah masyarakatnya tidak mau membuka diri. Mereka harus melek, bahwa bukan hanya Dompu saja peradaban di dunia ini, sehingga pemikiran mereka dapat terbuka dan membawa kemajuan di Dompu.
Selanjutnya tentu saja ada percobaan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Beberapa saat setelah disepakatinya kontrak, setelah jeda istirahat, dan diwaktu menjelang pulang. Ketika hal ini terjadi, saya kembali menanyakan kesiapan para guru untuk mengikuti pelatihan: “Guru hebat!”, sapaan ini akan dijawab dengan kata: “Siap!”. Saya ulangi beberapa kali sampai semua guru menjawab dengan semangat. “Apakah sudah siap belajar?”, lanjut saya. Kebanyakan dari mereka menjawab sudah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Kemudian secara mendadak saya beri instruksi: “Oke, kami beri waktu lima menit. Yang masih mengobrol silahkan selesaikan, yang merokok, yang ingin ke belakang, makan, dan minum. Tapi setelah lima menit kita komitmen sudah rapi ya, dipersilahkan”. Para peserta bengong dan langsung diam. Tapi saya komitmen, lima menit. Mungkin saya kelewatan memperlakukan mereka sama persis seperti murid saya. Tapi biarlah saya berikan shock culture, mereka harus tahu, harus bisa tertib. Bagaimana dengan siswanya kalau gurunya seperti ini? Meskipun saya yakin mereka sangat handal menertibkan murid dengan metode menjewer, menampar, meninju, hingga menendang. Ah, mereka harus tahu, bahwa ada cara yang lebih hemat energi untuk menertibkan siswa.
Beberapa waktu sebelum pelatihan 4 hari ini dimulai, seorang guru bercerita pada saya. “Dulu waktu  pelatihan, selesainya bisa sampai jam 3 sore dalam sehari. Tapi bisa juga dipadatkan, misalnya menjadi sabtu dan minggu saja”. Dari obrolan ini saya berpikir, waktu normal pelatihan adalah jam 8 pagi sampai dengan jam 3 sore selama 4 hari, dipadatkan menjadi sabtu minggu hanya sampai sore. Samakah?! Tapi obrolan ini cukuplah memberi tahu saya perihal waktu dalam pandangan para guru Dompu. Sebagaimana perkiraan saya, sedikit kericuhan terjadi. Ketika membagikan kertas bekas setelah jeda istirahat untuk praktek membuat display kelas, ada seorang guru senior laki-laki yang bertanya: ”Ini sampai jam berapa pelatihannya Bu Clara?”. “Di jadwal sampai jam 3 Pak”, jawab saya. Si guru kembali menjawab: “ Kemarin cuma sampai jam setengah dua ni!” Spontan saya menjawab: “Begitu, jadi mau dikorupsikan waktunya?”. Si guru juga spontan menjawab: “Yaa bukan begitu juga…”. Terdengar dengungan dari penjuru kelas. “Tidak apa-apa pak, bapak dan ibu guru sekalian, ini kan pelatihan untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, kami hanya fasilitator, jika memang ingin pulang cepat ya tidak apa-apa, kita sepakati saja. Yang punya kepentingan disini kan bapak dan ibu guru sekalian, bukan kami”, tanggap saya mencoba demokratis. Sesi percakapan ini kemudian diakhiri dengan pendapat seorang guru senior perempuan: “Tanya panitia saja selesai jam berapa”. Panitia menginstruksikan pelatihan selesai jam 14.30, setengah jam lebih cepat dari jadwal. Tapi tenang, kegiatan praktek di pelatihan membuat waktu tidak terasa berlalu. Para guru asyik mengerjakan display kelas hingga pukul 15.00. Jadilah pelatihan hari itu selesai pukul 15.10 WITA, he he. Saya berharap, semoga setiap guru bisa mengambil hikmah dari pelatihan hari ini.
Hari terakhir pelatihan tiba. Jadwal terakhir adalah micro teaching dari RPP yang sudah di buat secara perkelompok. Karena waktu tidak cukup, akhirnya evaluasi micro teaching untuk guru kelas (guru olah raga di ruang berbeda) ditunda setelah ishoma, lagipula jadwal penutupan diundur hingga pukul 14.00, menunggu pejabat UPTD datang. Tapi ternyata pejabat Diknas Kabupaten lebih cepat datang. Maka sedikit keributan kembali terjadi ketika saya meminta guru kelas kembali masuk kelas untuk mulai evaluasi. Beberapa guru olah raga mulai gelisah karena terancam penutupan tidak segera dilaksanakan, ini berarti mereka tidak jadi pulang cepat. Dari jauh saya menyaksikan kegelisahan itu. Panitia datang ke kelas kami untuk membatalkan evaluasi dan langsung masuk ke kelas penutupan acara. Alhamdulillah protes datang dari para peserta sendiri. “Kalau tidak dievaluasi, bagaimana kami tahu yang kami kerjakan benar atau tidak, kami minta waktu sebentar saja”, ujar para guru kelas kepada panitia yang akhirnya mempersilahkan.
Tapi tidak semudah itu, tiga guru senior olah raga laki-laki bergantian menginterupsi, menyalahkan kami dan memerintahkan segera mengakhiri kegiatan. Bukan hanya guru ternyata, pejabat UPTD yang sudah datang juga turut menginterupsi dengan masuk ke ruangan dan berjalan-jalan dengan gelisah. Aaaarrgghhh, suasana apa ini? Evaluasi mau tidak mau tersendat-sendat, tidak konsentrasi. Para peserta pelatihan memandangi kami dengan ekspresi tidak enak dan meminta maaf. Saya dan teman semakin belepotan berbicara. Ketika ada yang menginterupsi lagi dari depan pintu saya berkata: “Bukan kami pak yang mau, guru-guru sendiri yang minta dievaluasi”. Maka penginterupsi itu pun mundur.
Pada akhirnya, evaluasi micro teaching tuntas dengan tidak memuaskan. Setelah buru-buru di tutup dan meminta maaf kami segera meminta para guru untuk pindah kelas. Sambil membereskan barang-barang pelatihan teman saya bertanya sinis, “Kita juga harus ikut penutupan ya?!” Saya tersenyum dan berkata: “Lembo ade” (harap maklum), kita sudah beberapa kali mengalami, pejabat itu tidak bisa menunggu, he he”.
Sampai di tempat penutupan, saya agak terkejut dengan tanggapan Diknas Kabupaten, bertolak belakang dengan yang saya bayangkan. Usut punya usut, ternyata pejabat Diknas Kabupaten menginstruksikan untuk menyelesaikan terlebih dahulu evaluasi dan bersedia menunggu. Lalu siapa yang ternyata tidak sabaran dengan memakai pejabat Diknas sebagai alasan? Para guru olah raga. Hmm, saya hanya senyum-senyum saja ketika sampai dua hari kemudian masih ada yang mengeluhkan: “Sebenarnya kemarin itu harusnya dituntaskan dulu evaluasinya, guru-guru olah raga ini yang tidak sabar, mereka taunya makan dan minta uang saja!”. Ups, sudah beberapa orang berkata begini. Lalu dengan santai saya menjawab:” Iya bu… lembo ade”. Seperti biasa, permasalahan seberat apapun di Dompu biasa diselesaikan dengan dua kata saja: “Lembo Ade”.

Thursday, June 14, 2012

NAWA




NAWA
Oleh: Clara Novita Anggraini, S.I.Kom
 
Seperti biasa, pagi itu Nawa membuka harinya dengan mencuci piring. Tangannya begitu cekatan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah seperti ini. Mencuci pakaian, memasak, membersihkan rumah bisa dilakukan dengan cepat. Tidak mengherankan, karena sejak umur 3 tahun, remaja Taropo seperti Nawa diwajibkan untuk terampil mengerjakan semua pekerjaan rumah itu.
Mirnawati nama lengkapnya. Ia tinggal di Desa Taropo yang terletak di ujung selatan Kecamatan Kilo, kecamatan paling utara Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Karena letaknya yang jauh inilah Taropo jarang dikenal. Masyarakat dompu di kecamatan lain banyak yang belum pernah menginjakkan kaki di Taropo. Dengan countur tanah yang berbukit-bukit dan terus menanjak ke atas, daerah ini mendapat julukan Gunung Taropo.
Untuk mencapai Desa Taropo, ditempuh jarak kurang lebih 67 km dari kota kabupaten. Akses kendaraan cukup sulit, dalam sehari hanya ada sekitar 3 bis yang beroperasi, itu pun hanya dapat ditemui setelah ngojek sepanjang 7 km dari dalam Taropo. Setelahnya, jalan menuju kota sangat rusak dan sering memakan korban jiwa.
Dengan akses yang sangat terbatas inilah Nawa hidup. Maka Nawa tidak pernah kenal dengan sesuatu bernama internet. Nawa juga tidak bisa berbahasa Indonesia. Padahal saat ini ia duduk di kelas 2 SMP. Ketika ditanya berapa umurnya, Nawa menjawab tidak tahu. Ia tidak tahu tanggal dan tahun lahirnya. Sebenarnya, Nawa lahir di Kota Kabupaten, Dompu. Tetapi karena perceraian kedua orang tua, Nawa dan adiknya kemudian dititipkan ke kampung halaman ibunya. Saat ini, ibunya tengah bekerja sebagai TKI di Arab Saudi.
Tinggal bersama kerabat membuat Nawa harus bekerja keras setiap hari. Seringkali hanya untuk memasak dan mencuci baju keluarga Nawa mengorbankan sekolahnya. Ia juga sering mendapat orderan mengerjakan pekerjaan rumah untuk kemudian di gaji. Setiap harinya Nawa hanya mendapat uang jajan Rp.2000 dari uang kiriman ibunya yang di atur oleh paman dan bibinya. Dari membantu orang lain mengerjkan pekerjaan rumah, Nawa bisa mendapatkan uang tambahan untuk jajan dan membayar fotokopian buku di sekolah. Meskipun begitu, Nawa tetap ceria menjalani kehidupannya. Dalam benaknya, beginilah kehidupan yang normal.
Ayahnya saat ini telah menikah lagi. Nawa mempunyai ibu tiri persis seperti di cerita Cinderella. Sesekali Nawa dan adiknya bertandang ke rumah ayah dan ibu tirinya, mereka selalu bertengkar. Nawa dan adiknya hanya bisa diam. Secara ironi Nawa menceritakan betapa baik ibu tirinya: “Persis seperti di sinetron-sinetron”. Nawa tidak mengharapkan apapun dari ibu tirinya. Karena di benaknya, stigma ibu tiri sedari awal memang kejam, seperti apa yang dikatakannya: sama seperti yang digambarkan oleh sinetron yang mereka tonton. Sejak listrik masuk satu tahun yang lalu, beberapa warga memang sudah mempunyai televisi meskipun harus dilengkapi dengan parabola dan LCD untuk mendapatkan sinyal.
Terkadang Nawa juga tinggal di rumah neneknya apabila rumah pamannya banyak tamu. Pamannya merupakan seorang tokoh masyarakat. Karena itu, seringkali setelah membantu di rumah pamannya, Nawa akan tidur di rumah nenek. Keadaan saat tinggal bersama neneknya tidak lebih baik. Setelah anak-anaknya dewasa, nenek masih tetap bekerja di lahan seluas 1 Ha. Panen musim ini hanya menghasilkan uang Rp.3.000.000, padahal panen  hanya terjadi satu tahun sekali. Hanya sekejap saja, uang tersebut habis untuk membayar hutang di kios dan bank saat membuka lahan. Untuk makan selanjutnya, masih ada tanaman padi. Beras cukup melimpah di Taropo, karena itu banyak warga yang hanya makan nasi dengan garam dan air. Jika ada uang, micin dan cabai dibeli untuk menambah rasa. Meskipun sayur bisa tumbuh subur di Taropo, tidak banyak warga yang menanam dan makan sayur. Belum ada kesadaran hidup sehat di Taropo. Begitu juga dengan keluarga Nawa. Makanan instan seperti mie dan micin merupakan makanan mewah.
Setelah mengerjakan berbagai pekerjaan rumah, Nawa berangkat ke sekolah. Ketika tidak ada guru, Nawa pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Tidak seperti teman-temannya yang gemar bernyanyi dan menari menirukan girl band di televisi, Nawa lebih suka membaca. Sayangnya, buku-buku di sekolah Nawa tidak bisa dipinjam dan di bawa pulang. Hanya sedikit waktu yang dimiliki Nawa untuk bisa membaca buku. Sekolah biasanya berakhir pada pukul 10:00 WITA, setelah dimulai pada pukul 07:30. Guru yang jarang datang menjadi kendala utama. Kalaupun ada guru yang datang, belum tentu mereka akan mengajar, siswa dibiarkan begitu saja. Maka Nawa dan teman-teman terbiasa dengan pulang cepat dan tidak betah di sekolah.



Mencuci pakaian di sungai merupakan kegiatan sehari-hari Nawa
 
 
Sepulang sekolah, Nawa akan membantu keluarga paman dan neneknya memasak atau membantu di lahan ketika musim panen. Menonton televisi dapat dilakukan seharian apabila sedang ada waktu luang. Tidak seperti teman-temannya, Nawa tidak suka nongkrong di pinggir jalan di malam hari. Kebanyakan remaja Taropo biasanya nongkrong bersama-sama. Sekadar bercanda antara muda-mudi, saling cari kutu bagi remaja putri, bermain kartu domino, sampai dengan judi pacuan kuda.
Memasang nomor buntu (judi undian nomor) juga sangat digemari di Taropo. Mulai dari anak-anak sampai dengan dewasa. Kemajuan teknologi juga tidak berdampak baik. Judi pacuan kuda dilakukan via menonton tayangan pacuan kuda di stasiun televisi tertentu. Watak yang keras menyebabkan masyarakat Taropo tidak mudah di sentuh dengan hal positif. Meskipun semua penduduk beragama Islam, yang datang memenuhi panggilan adzan shalat ke masjid hanya sekitar lima orang, kebanyakan warga di usia sepuh. Masyarakat Taropo juga tidak mau menerima penceramah yang belum sepuh. 
Nawa adalah salah satu dari sekian banyak remaja yang bernasib sama. Dititipkan kepada kerabat sejak kecil oleh orang tua yang bercerai. Di daerah pelosok banyak terjadi kasus perceraian. Entah karena kesulitan ekonmi, selingkuh, atau karena tidak mempunyai pengetahuan agama yang cukup dalam menjalani hidup. Tidak ada pemikiran untuk masa depan diri dan keluarga. Karena kesulitan ekonomi sang ibu pergi ke Arab Saudi menjadi TKI. Tidak ada kasih sayang yang didapat secara langsung oleh anak-anak korban perceraian seperti ini. Meski tidak pernah shalat dan mengaji, Nawa berkekad untuk sekolah tinggi hingga menjadi guru. Setelah itu, baru akan memikirkan menikah. Cita-cita Nawa, tentu berangkat dari latar belakang keluarga yang dimilikinya. Diluar segala keterbatasan dan keluguannya, remaja  seperti Nawa tetap hidup dengan ceria.





Monday, May 7, 2012

Masuk Barisan Sekolah Guru Indonesia, Beranikah Anda?! (Sebuah Tantangan Kepada Para Pemuda Cerdas)


Masuk Barisan Sekolah Guru Indonesia, Beranikah Anda?!
(Sebuah Tantangan Kepada Para Pemuda Cerdas)

Jangan sembarangan masuk SGI. Mungkin SGI terdengar sangat menggiurkan. SGI tidak menjanjikan gaji yang menggiurkan, pas-pas an saja memenuhi kebutuhan hidup di daerah penempatan. Nilai baik buruk di SGI beracuan pada Tuhan, Syariat Islam, Allah SWT, karena SGI di danai oleh uang zakat. Uang zakat tidak bisa dipakai secara sembarang kawan. Dengan demikian anda di tuntut untuk menguasai ilmu ikhlas. Anda juga harus mau dijoglok untuk berkarakter, sangat tidak mudah bagi fresh graduate yang menyandang predikat berprestasi. Ego anda akan ditekan sedmikian rupa untuk dibentuk menjadi acuan berstandar SGI.
Anda juga tidak akan mendapatkan prestise. Anda hanya akan mendapat sanjungan yang mematikan niat lurus anda. Anda akan dinilai hebat karena bersedia membangun negeri walaupun menderita. Tinggal di daerah pelosok dengan masyarakat bermindset terbelakang, tidak ada makanan, air, listrik, dan sinyal. Hanya segelintir orang saja yang menyanjung anda seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang mengerti, berlatar pendidikan menengah ke atas. Sedikit jauh dari Pulau Jawa, terutama kabupaten-kabupaten, anda tidak akan bertemu lagi dengan orang-orang seperti itu. Jangan berharap juga anda akan kebagian sedikit prestise lembaga, Koran Republika, media massa tempat lahirnya Dompet Dhuafa yang menggawangi SGI. Masyarakat pelosok tidak akan tahu apa itu SGI, Dompet Dhuafa, dan atau Koran Republika. Anda tidak akan di label hebat berjiwa malaikat. Anda akan di pandang sebagai orang asing yang tiba-tiba datang entah dengan maksud apa. Anda akan di curigai, di investigasi berapa gaji anda, di anggap bisa segala hal, dimonitor setiap tindak tanduk anda. Salah langkah sedikit, anda akan di anggap menggurui. masyarakat dengan karakter keras dan terbelakang tidak akan suka digurui.
SGI bukan sekedar gerakan mengajar. SGI murni sebuah pengabdian. Pengabdian kepada Allah SWT. Pembuktian bahwa diri bernilai di mata Tuhan, bukan di mata manusia. Anda tidak akan mendapatkan duniawi. Harta anda berbentuk amal, bekal di akhirat, yang tidak kasat mata. Sebagai manusia anda akan kesulitan memahami realitas ini, terutama ketika iman anda sedang turun. Sudah Sunnatullah iman manusia naik turun bukan? SGI berbeda dengan program mengajar lainnya. Anda akan dididik profesi keguruan, dan setelah kontrak selesai, anda diharapkan terus menjadi guru atau minimal tetap berkecimpung di dunia pendidikan. SGI tidak sekadar gerakan mengajar. Setelah ngebut pembekalan selama 6 bulan, anda akan membangun sebuah desa bukan hanya di sekolah saja, tetapi juga melakukan community development dan social awareness. Anda akan membangun pemikiran, mengaktifkan kembali organisasi kemasyarakatan seperti karang taruna, pengajian ibu-ibu, dan memberikan akses ekonomi  agar masyarakat primitif berubah produktif.
Beranikah anda bergabung dengan SGI? Semenjak menandatangai kontrak pertama kali ego anda akan di tekan habis. Sedari awal bergabung anda akan di cap sebagai seorang dewasa yang cerdas, sekali lagi dengan ukuran syariat islam. Bukan sebatas menjalankan kewajiban dalam agama islam, tetapi juga tataran sunnah: cara berbicara, makan, dan berinteraksi. Bahkan ketika penempatan anda dituntut untuk mensyiarkan sunnah-sunnah dalam agama islam. Siapkah anda? Anda tidak akan diberi waktu lama untuk beradaptasi. Dengan salah satu point kontrak bersedia mematuhi semua peraturan di SGI tanpa mengetahui detail point-point tersebut, sistem yang diterapkan di SGI sama seperti zaman Rasulullah: sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat).
Bergabung dengan SGI bukan sekedar mengorbankan diri mengajar di pelosok sambil makan nasi dengan garam, mengangkut air 100 meter sebelum bisa mandi, tinggal bergelapan tanpa listrik (apalagi internet), tidak bisa dihubungi orang tua karena tidak ada sinyal, dan menggantikan guru mengajar sementara mereka sibuk mengobrol dan memaki murid. Bergabung di SGI adalah sebuah bentuk kesadaran sebagai mahluk ciptaan Allah SWT. Di SGI anda sama sekali tidak mendapatkan duniawi. Di SGI, anda difasilitasi untuk memenuhi fitrah anda sebagai manusia di bumi: menjadi khalifah, mengajak amar ma’ruf nahi munkar, dan bermanfaat. Siapkah anda?!
Kepada para pemuda idealis, cerdas, dan prestatif yang menasbihkan hidupnya untuk kemajuan bangsa, kemanfaatan, atau apapun namanya. Bergabung dengan SGI Dompet Dhuafa, beranikah anda?!

Friday, January 20, 2012

Dara dan Taujih (awal merasakan keberlimpahan informasi)


Dara membaca sms yang baru saja masuk di ponselnya. Dari nama di layar dia sudah tau apa kira-kira isi dari sms itu. Sebuah taujih. Yang terkadang panjangnya bisa mencapai 5 halaman. Jika tidak sedang dalam keadaan lelah atau terburu-buru, akan dibaca dengan teliti. Mencoba mengerti maksud taujih itu. Terutama maksud si pengirim setelah memaparkan beberapa ayat alquran, hadist, atau pendapat orang bijak. Saat inilah, berbagai prasangka akan muncul di hati dara.
Selanjutnya, prasangka ini akan diolah otaknya secara spontan. Membuahkan pikiran-pikiran yang positif, setelah berkali-kali menganulir pikiran-pikiran negatif yang muncul. Dara mensugesti, mencoba berhusnudzan, dan mengafirmasi diri sendiri. Mau tidak mau akan ada pemikiran: "kenapa orang ini mengirimi saya taujih seperti ini? Apakah saya telah melakukan perbuatan jelek yang mengakibatkan taujih itu muncul?".
Pertanyaan ini akan muncul terutama pada orang yang belum terlalu dikenal dara. Jika terhadap orang yang dikenal, maka dara akan bersikap positif, apalagi jika tidak ada kejadian menyangkut dirinya tentang taujih itu. Atau juga karena dara sudah mengenal tabiat, watak, serta pemikiran si pengirim taujih. Maka dara hanya membaca sekilas, menunda untuk membaca, atau langsung mengirimkan feedback positif secara singkat jika mood nya sedang baik. Sama sekali tidak ada pertanyaan yang mengganjal.
Dalam benak dara, taujih yang sering diterimanya melalui sms adalah sesuatu yang baik. Tetapi tetap saja, terkadang dara enggan membaca sms-sms itu. Panjang halaman sms, pemilihan kata, dan prolog yang menjemukan menjadi nominator utama penyebabnya. Terkadang dara malah terjebak. Memaksa diri membaca taujih tersebut karena khawatir dirinya tidak bersyukur. Masih banyak orang yang memperhatikannya dengan mengirim taujih-taujih itu. Dalam keadaan ini dara akan membaca sms secara terburu-buru tanpa mengerti maknanya.
Tetapi dara juga tidak memungkiri bahwa terkadang dia juga mempunyai keinginan membagi hikmah yang didapatnya melalui sms taujih. Tetapi karena kasus penerimaan taujih yang terjadi pada dirinya, dara menjadi sangat jarang melakukannya. Ketika berkesempatan, dara akan mengemas sms taujihnya, dengan semenarik, sesingkat, dan seefektif mungkin untuk dimengerti dan dibaca. Di luar segala bentuk penerimaan negatif dara terhadap faktor fisik dan isi sebuah sms taujih, dalam benak dara sms taujih tetaplah positif. Meskipun Ia khawatir, bahwa jumlah taujih yang masuk ke-HP-nya yang semakin banyak dapat menyebabkan overload hingga rusaknya HP.


Tak SebeNing Namamu

Ning, konon begitu namamu Itu yang kudengar dari angin yang berhembus kencang Ning, sayang nasib tak  begitu ramah menghampirimu Gentar sese...