Tuesday, March 22, 2011

Kau Bau Hujan

I
Kau bau hujan.
Berapa hari tak pulang kau bau hujan
Sebenarnya apa perolehanmu disana
Kenapa kehadiranmu kini menghadirkan mendung di setiap hati
Aku mencium bau hujan tidak hanya dari wajahmu
Rambutmu menyebarkan aroma gerimis
Tanganmu menyebabkan hujan angin
Dan kakimu, menghembuskan hujan badai
Jangan! Sepatah katapun jangan bicara
Jangan kau coba membuka bibir itu
Karena aku tak bisa menebak hujan apa yang akan menyembur dari sana
Karena aku, pun dirimu, tak akan bisa mengatasi apapun yang keluar dari sana

II
Dan setelah pelajaran hujan itu
Hanya sebentar saja kau menjadi pahlawan
Dalam sekejap kau menjadi relawan
Dan sekejap pula kau menjadi nelayan
Hingga arus tak bisa kau lawan
Dan setelah pelajaran hujan itu
Kau jadi menikmati permainan

III
Kau bau hujan.
Ketika mentari mencapai ubun-ubun kemarau
Banjir kami telah asin bercampur air mata
Dan yang bisa membuatmu hilang adalah awan
Kusiapkan segala bekal;
Bergegaslah! Langit telah mengosongkan segala isinya.

Palembang, 140211)

Kehilangan (Kepada Kakakku Shana)



Puncak selaksa melarikan dirimu,
Aku hampir kehilangan
Mengendap dan terengah kuhampiri dirimu
Semoga kelabu tak mengaburkan dera
Begitulah doa yang terlantun sejak saat itu

Lama kita berbicara dalam diam
Terpaku mendengarkan dendang gemuruh yang mendung
Bahkan kilat menyambar-nyambar
Pada titik ini,
Aku sangat takut kehilangan dirimu

Akhirnya kita luruh dalam gema bahana
Berlomba menjeritkan luka dan prasangka
Menorehkan pucuk-pucuk luka yang mulai mengakar
(tanpa kusadari dia menjalar,
merintis lorong-lorong kosong yang panjang diantara kita)
Kuhitung depa, semakin rasa takutku

Dan setelah percakapan malam
Subuh melukiskan riang canda kaki-kaki kecil kita
Siang membayang es krim ditanganmu dan lusinan permen ditanganku
(aku ingin es krim itu dan kau tak ingin berbagi)
Hingga senja mengantarkan remaja dan dewasa kita
Lalu malam datang menjemput senyap
Aku tahu, aku telah kehilangan dirimu

Monday, March 21, 2011

Luka Kami dan Negeri

dan rasaku pun tidak sama dengan rasamu
seperti sunnatullah cinta pun mengikutinya
hatiku menyamudra dibalik tiran
serupa brahmana terluka cinta:
bergolak amarah namun terantai prahara
aku Tuan yang dipasung menghamba
oleh abdi yang terbuai coba dan kuasa
kata-kata tak lagi punya rasa
laku pun teredam tak bernyawa
kembalilah aku hanya padaMU jua
pada kuasa dibalik kuasa
sapulah jagat semesta dengan cinta atau duka:
karena harap luluh lantak oleh keserakahan...

Adalah Cinta

Sesuatu itu beisi tiga perkara:
Nuansa, rasa, dan merah muda
Maka begitulah manusia menuai prasangka
Sedalam lautan ketika sedang nelangsa
Seterang mentari ketika ceria
Semanis madu ketika mencumbu
Dan seisi dunia dibuatnya terpaku
Bulan yang malu mengangguk-angguk
Mars yang menyala padam seketika
Dalam pada maya sesuatu itu terus memburu
Membuat sang pemuja terengah-engah
Antara suka, duka, dan putus dan asa
setengah berlari menuju anarki
dan sesuatu itu pula seloka merupa
siapapun akan mabuk dalam buaiannya
positiflah rahim negatiflah ranah
tak ada yang mampu menerka akan jadi apa pemuja
tetapi entah apa konkretnya
meski tak teraba,
ia tetap saja merah muda,
menuansa atau merasa:
adalah Cinta.


Palembang, 21 Maret 11, 03:19

Tak SebeNing Namamu

Ning, konon begitu namamu Itu yang kudengar dari angin yang berhembus kencang Ning, sayang nasib tak  begitu ramah menghampirimu Gentar sese...