Thursday, June 14, 2012

NAWA




NAWA
Oleh: Clara Novita Anggraini, S.I.Kom
 
Seperti biasa, pagi itu Nawa membuka harinya dengan mencuci piring. Tangannya begitu cekatan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah seperti ini. Mencuci pakaian, memasak, membersihkan rumah bisa dilakukan dengan cepat. Tidak mengherankan, karena sejak umur 3 tahun, remaja Taropo seperti Nawa diwajibkan untuk terampil mengerjakan semua pekerjaan rumah itu.
Mirnawati nama lengkapnya. Ia tinggal di Desa Taropo yang terletak di ujung selatan Kecamatan Kilo, kecamatan paling utara Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Karena letaknya yang jauh inilah Taropo jarang dikenal. Masyarakat dompu di kecamatan lain banyak yang belum pernah menginjakkan kaki di Taropo. Dengan countur tanah yang berbukit-bukit dan terus menanjak ke atas, daerah ini mendapat julukan Gunung Taropo.
Untuk mencapai Desa Taropo, ditempuh jarak kurang lebih 67 km dari kota kabupaten. Akses kendaraan cukup sulit, dalam sehari hanya ada sekitar 3 bis yang beroperasi, itu pun hanya dapat ditemui setelah ngojek sepanjang 7 km dari dalam Taropo. Setelahnya, jalan menuju kota sangat rusak dan sering memakan korban jiwa.
Dengan akses yang sangat terbatas inilah Nawa hidup. Maka Nawa tidak pernah kenal dengan sesuatu bernama internet. Nawa juga tidak bisa berbahasa Indonesia. Padahal saat ini ia duduk di kelas 2 SMP. Ketika ditanya berapa umurnya, Nawa menjawab tidak tahu. Ia tidak tahu tanggal dan tahun lahirnya. Sebenarnya, Nawa lahir di Kota Kabupaten, Dompu. Tetapi karena perceraian kedua orang tua, Nawa dan adiknya kemudian dititipkan ke kampung halaman ibunya. Saat ini, ibunya tengah bekerja sebagai TKI di Arab Saudi.
Tinggal bersama kerabat membuat Nawa harus bekerja keras setiap hari. Seringkali hanya untuk memasak dan mencuci baju keluarga Nawa mengorbankan sekolahnya. Ia juga sering mendapat orderan mengerjakan pekerjaan rumah untuk kemudian di gaji. Setiap harinya Nawa hanya mendapat uang jajan Rp.2000 dari uang kiriman ibunya yang di atur oleh paman dan bibinya. Dari membantu orang lain mengerjkan pekerjaan rumah, Nawa bisa mendapatkan uang tambahan untuk jajan dan membayar fotokopian buku di sekolah. Meskipun begitu, Nawa tetap ceria menjalani kehidupannya. Dalam benaknya, beginilah kehidupan yang normal.
Ayahnya saat ini telah menikah lagi. Nawa mempunyai ibu tiri persis seperti di cerita Cinderella. Sesekali Nawa dan adiknya bertandang ke rumah ayah dan ibu tirinya, mereka selalu bertengkar. Nawa dan adiknya hanya bisa diam. Secara ironi Nawa menceritakan betapa baik ibu tirinya: “Persis seperti di sinetron-sinetron”. Nawa tidak mengharapkan apapun dari ibu tirinya. Karena di benaknya, stigma ibu tiri sedari awal memang kejam, seperti apa yang dikatakannya: sama seperti yang digambarkan oleh sinetron yang mereka tonton. Sejak listrik masuk satu tahun yang lalu, beberapa warga memang sudah mempunyai televisi meskipun harus dilengkapi dengan parabola dan LCD untuk mendapatkan sinyal.
Terkadang Nawa juga tinggal di rumah neneknya apabila rumah pamannya banyak tamu. Pamannya merupakan seorang tokoh masyarakat. Karena itu, seringkali setelah membantu di rumah pamannya, Nawa akan tidur di rumah nenek. Keadaan saat tinggal bersama neneknya tidak lebih baik. Setelah anak-anaknya dewasa, nenek masih tetap bekerja di lahan seluas 1 Ha. Panen musim ini hanya menghasilkan uang Rp.3.000.000, padahal panen  hanya terjadi satu tahun sekali. Hanya sekejap saja, uang tersebut habis untuk membayar hutang di kios dan bank saat membuka lahan. Untuk makan selanjutnya, masih ada tanaman padi. Beras cukup melimpah di Taropo, karena itu banyak warga yang hanya makan nasi dengan garam dan air. Jika ada uang, micin dan cabai dibeli untuk menambah rasa. Meskipun sayur bisa tumbuh subur di Taropo, tidak banyak warga yang menanam dan makan sayur. Belum ada kesadaran hidup sehat di Taropo. Begitu juga dengan keluarga Nawa. Makanan instan seperti mie dan micin merupakan makanan mewah.
Setelah mengerjakan berbagai pekerjaan rumah, Nawa berangkat ke sekolah. Ketika tidak ada guru, Nawa pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Tidak seperti teman-temannya yang gemar bernyanyi dan menari menirukan girl band di televisi, Nawa lebih suka membaca. Sayangnya, buku-buku di sekolah Nawa tidak bisa dipinjam dan di bawa pulang. Hanya sedikit waktu yang dimiliki Nawa untuk bisa membaca buku. Sekolah biasanya berakhir pada pukul 10:00 WITA, setelah dimulai pada pukul 07:30. Guru yang jarang datang menjadi kendala utama. Kalaupun ada guru yang datang, belum tentu mereka akan mengajar, siswa dibiarkan begitu saja. Maka Nawa dan teman-teman terbiasa dengan pulang cepat dan tidak betah di sekolah.



Mencuci pakaian di sungai merupakan kegiatan sehari-hari Nawa
 
 
Sepulang sekolah, Nawa akan membantu keluarga paman dan neneknya memasak atau membantu di lahan ketika musim panen. Menonton televisi dapat dilakukan seharian apabila sedang ada waktu luang. Tidak seperti teman-temannya, Nawa tidak suka nongkrong di pinggir jalan di malam hari. Kebanyakan remaja Taropo biasanya nongkrong bersama-sama. Sekadar bercanda antara muda-mudi, saling cari kutu bagi remaja putri, bermain kartu domino, sampai dengan judi pacuan kuda.
Memasang nomor buntu (judi undian nomor) juga sangat digemari di Taropo. Mulai dari anak-anak sampai dengan dewasa. Kemajuan teknologi juga tidak berdampak baik. Judi pacuan kuda dilakukan via menonton tayangan pacuan kuda di stasiun televisi tertentu. Watak yang keras menyebabkan masyarakat Taropo tidak mudah di sentuh dengan hal positif. Meskipun semua penduduk beragama Islam, yang datang memenuhi panggilan adzan shalat ke masjid hanya sekitar lima orang, kebanyakan warga di usia sepuh. Masyarakat Taropo juga tidak mau menerima penceramah yang belum sepuh. 
Nawa adalah salah satu dari sekian banyak remaja yang bernasib sama. Dititipkan kepada kerabat sejak kecil oleh orang tua yang bercerai. Di daerah pelosok banyak terjadi kasus perceraian. Entah karena kesulitan ekonmi, selingkuh, atau karena tidak mempunyai pengetahuan agama yang cukup dalam menjalani hidup. Tidak ada pemikiran untuk masa depan diri dan keluarga. Karena kesulitan ekonomi sang ibu pergi ke Arab Saudi menjadi TKI. Tidak ada kasih sayang yang didapat secara langsung oleh anak-anak korban perceraian seperti ini. Meski tidak pernah shalat dan mengaji, Nawa berkekad untuk sekolah tinggi hingga menjadi guru. Setelah itu, baru akan memikirkan menikah. Cita-cita Nawa, tentu berangkat dari latar belakang keluarga yang dimilikinya. Diluar segala keterbatasan dan keluguannya, remaja  seperti Nawa tetap hidup dengan ceria.





Tak SebeNing Namamu

Ning, konon begitu namamu Itu yang kudengar dari angin yang berhembus kencang Ning, sayang nasib tak  begitu ramah menghampirimu Gentar sese...