Monday, October 22, 2012

Kontrak Belajar




Oleh: Clara Novita Anggraini, S.I.Kom

Anda pasti tidak asing lagi dengan kontrak belajar. Hampir kita semua pernah mengecapnya, baik ketika kuliah maupun sekolah. Tetapi kontrak belajar dalam tulisan ini mengambil sisi yang berbeda, bukan dari sisi yang dikenai, melainkan yang mengenai. Benar sekali, kontrak belajar untuk para guru. Cerita ini terjadi ketika saya berkesempatan mengisi pelatihan guru-guru di gugus sekolah penempatan. Materi yang diminta adalah Pembelajaran Berbasis IT, Pembelajaran Inovatif, dan Pembuatan RPP. Bersama seorang teman yang masih satu kecamatan, saya berbagi tugas menjadi pemateri.
Mengingat kami berada di pelosok Indonesia, permasalahan utama yang akan kami hadapi mungkin mudah di tebak, yaitu mental para guru yang akan kami beri pelatihan. Di tambah lagi, pelatihan ini dilakukan berdasarkan proyek KKG yang dananya berhasil dicairkan. Mau tidak mau harus dilakukan, karena pertanggungjawabannya sudah diminta. Kami menghadapi para guru senior yang usianya jauh di atas kami (bahkan lebih tua dari orang tua kami), pilihan dari sekolahnya, dan dibayar untuk mengikuti pelatihan ini. Benar saja, berbagai benturan kemudian terjadi selama pelaksanaan pelatihan.
Pertama, saat kami mnyampaikan kontrak belajar selama pelatihan. Kalau dulu saya pernah mengalami shock karena bertemu seorang pembicara yang merokok sambil memberikan materi saat mengikuti Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa tingkat fakultas, disini saya bertemu satu ruangan penuh peserta guru laki-laki merokok. Tidak bisa dipungkiri hal ini  didahului oleh pemateri sebelumnya yang memiliki predikat senior dicivitas pelatihan. Subhanallah. Wow! Bisa anda bayangkan bagaimana rasanya masuk ke sebuah ruangan yang penuh dengan asap rokok, padahal anda akan melakukan aktivitas belajar. Salah satu point di kontrak belajar meminta para peserta untuk tidak merokok selama mengikuti pelatihan. 
Berbagai protes muncul sewaktu point tidak merokok ini disampaikan. Hingga kemudian saya bertanya: “Kalau boleh tahu kenapa bapak-bapak keberatan dengan point ini?” Salah seorang guru menjawab: “Saya itu tidak bisa konsentrasi kalau tidak merokok”. “Oh begitu, bagaimana kalau saya katakan kalau saya tidak bisa konsentrasi kalau saya menghirup asap rokok?”, tandas saya. Guru itu tersenyum, tetapi ada komentar lain dari pojok belakang: “Tidak usah saja kalau begitu ni!”. Refleks saya menjawab: “Oke, ya sudah kalau begitu kita sepakati, yang mau merokok silahkan tidak usah ikut saja, silahkan keluar. Ini peraturan pelatihan standar nasional, kalau Dompu mau maju, kita ikuti standar nasional”. Dalam hati saya deg-deg an setengah mati, tapi ini sudah saya persiapkan, masyarakat Dompu harus dididik. Salah satu penyebab tidak dikenalnya Dompu adalah masyarakatnya tidak mau membuka diri. Mereka harus melek, bahwa bukan hanya Dompu saja peradaban di dunia ini, sehingga pemikiran mereka dapat terbuka dan membawa kemajuan di Dompu.
Selanjutnya tentu saja ada percobaan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Beberapa saat setelah disepakatinya kontrak, setelah jeda istirahat, dan diwaktu menjelang pulang. Ketika hal ini terjadi, saya kembali menanyakan kesiapan para guru untuk mengikuti pelatihan: “Guru hebat!”, sapaan ini akan dijawab dengan kata: “Siap!”. Saya ulangi beberapa kali sampai semua guru menjawab dengan semangat. “Apakah sudah siap belajar?”, lanjut saya. Kebanyakan dari mereka menjawab sudah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Kemudian secara mendadak saya beri instruksi: “Oke, kami beri waktu lima menit. Yang masih mengobrol silahkan selesaikan, yang merokok, yang ingin ke belakang, makan, dan minum. Tapi setelah lima menit kita komitmen sudah rapi ya, dipersilahkan”. Para peserta bengong dan langsung diam. Tapi saya komitmen, lima menit. Mungkin saya kelewatan memperlakukan mereka sama persis seperti murid saya. Tapi biarlah saya berikan shock culture, mereka harus tahu, harus bisa tertib. Bagaimana dengan siswanya kalau gurunya seperti ini? Meskipun saya yakin mereka sangat handal menertibkan murid dengan metode menjewer, menampar, meninju, hingga menendang. Ah, mereka harus tahu, bahwa ada cara yang lebih hemat energi untuk menertibkan siswa.
Beberapa waktu sebelum pelatihan 4 hari ini dimulai, seorang guru bercerita pada saya. “Dulu waktu  pelatihan, selesainya bisa sampai jam 3 sore dalam sehari. Tapi bisa juga dipadatkan, misalnya menjadi sabtu dan minggu saja”. Dari obrolan ini saya berpikir, waktu normal pelatihan adalah jam 8 pagi sampai dengan jam 3 sore selama 4 hari, dipadatkan menjadi sabtu minggu hanya sampai sore. Samakah?! Tapi obrolan ini cukuplah memberi tahu saya perihal waktu dalam pandangan para guru Dompu. Sebagaimana perkiraan saya, sedikit kericuhan terjadi. Ketika membagikan kertas bekas setelah jeda istirahat untuk praktek membuat display kelas, ada seorang guru senior laki-laki yang bertanya: ”Ini sampai jam berapa pelatihannya Bu Clara?”. “Di jadwal sampai jam 3 Pak”, jawab saya. Si guru kembali menjawab: “ Kemarin cuma sampai jam setengah dua ni!” Spontan saya menjawab: “Begitu, jadi mau dikorupsikan waktunya?”. Si guru juga spontan menjawab: “Yaa bukan begitu juga…”. Terdengar dengungan dari penjuru kelas. “Tidak apa-apa pak, bapak dan ibu guru sekalian, ini kan pelatihan untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, kami hanya fasilitator, jika memang ingin pulang cepat ya tidak apa-apa, kita sepakati saja. Yang punya kepentingan disini kan bapak dan ibu guru sekalian, bukan kami”, tanggap saya mencoba demokratis. Sesi percakapan ini kemudian diakhiri dengan pendapat seorang guru senior perempuan: “Tanya panitia saja selesai jam berapa”. Panitia menginstruksikan pelatihan selesai jam 14.30, setengah jam lebih cepat dari jadwal. Tapi tenang, kegiatan praktek di pelatihan membuat waktu tidak terasa berlalu. Para guru asyik mengerjakan display kelas hingga pukul 15.00. Jadilah pelatihan hari itu selesai pukul 15.10 WITA, he he. Saya berharap, semoga setiap guru bisa mengambil hikmah dari pelatihan hari ini. 
Hari terakhir pelatihan tiba. Jadwal terakhir adalah micro teaching dari RPP yang sudah di buat secara perkelompok. Karena waktu tidak cukup, akhirnya evaluasi micro teaching untuk guru kelas (guru olah raga di ruang berbeda) ditunda setelah ishoma, lagipula jadwal penutupan diundur hingga pukul 14.00, menunggu pejabat UPTD datang. Tapi ternyata pejabat Diknas Kabupaten lebih cepat datang. Maka sedikit keributan kembali terjadi ketika saya meminta guru kelas kembali masuk kelas untuk mulai evaluasi. Beberapa guru olah raga mulai gelisah karena terancam penutupan tidak segera dilaksanakan, ini berarti mereka tidak jadi pulang cepat. Dari jauh saya menyaksikan kegelisahan itu. Panitia datang ke kelas kami untuk membatalkan evaluasi dan langsung masuk ke kelas penutupan acara. Alhamdulillah protes datang dari para peserta sendiri. “Kalau tidak dievaluasi, bagaimana kami tahu yang kami kerjakan benar atau tidak, kami minta waktu sebentar saja”, ujar para guru kelas kepada panitia yang akhirnya mempersilahkan.
Tapi tidak semudah itu, tiga guru senior olah raga laki-laki bergantian menginterupsi, menyalahkan kami dan memerintahkan segera mengakhiri kegiatan. Bukan hanya guru ternyata, pejabat UPTD yang sudah datang juga turut menginterupsi dengan masuk ke ruangan dan berjalan-jalan dengan gelisah. Aaaarrgghhh, suasana apa ini? Evaluasi mau tidak mau tersendat-sendat, tidak konsentrasi. Para peserta pelatihan memandangi kami dengan ekspresi tidak enak dan meminta maaf. Saya dan teman semakin belepotan berbicara. Ketika ada yang menginterupsi lagi dari depan pintu saya berkata: “Bukan kami pak yang mau, guru-guru sendiri yang minta dievaluasi”. Maka penginterupsi itu pun mundur.
Pada akhirnya, evaluasi micro teaching tuntas dengan tidak memuaskan. Setelah buru-buru di tutup dan meminta maaf kami segera meminta para guru untuk pindah kelas. Sambil membereskan barang-barang pelatihan teman saya bertanya sinis, “Kita juga harus ikut penutupan ya?!” Saya tersenyum dan berkata: “Lembo ade” (harap maklum), kita sudah beberapa kali mengalami, pejabat itu tidak bisa menunggu, he he”.
Sampai di tempat penutupan, saya agak terkejut dengan tanggapan Diknas Kabupaten, bertolak belakang dengan yang saya bayangkan. Usut punya usut, ternyata pejabat Diknas Kabupaten menginstruksikan untuk menyelesaikan terlebih dahulu evaluasi dan bersedia menunggu. Lalu siapa yang ternyata tidak sabaran dengan memakai pejabat Diknas sebagai alasan? Para guru olah raga. Hmm, saya hanya senyum-senyum saja ketika sampai dua hari kemudian masih ada yang mengeluhkan: “Sebenarnya kemarin itu harusnya dituntaskan dulu evaluasinya, guru-guru olah raga ini yang tidak sabar, mereka taunya makan dan minta uang saja!”. Ups, sudah beberapa orang berkata begini. Lalu dengan santai saya menjawab:” Iya bu… lembo ade”. Seperti biasa, permasalahan seberat apapun di Dompu biasa diselesaikan dengan dua kata saja: “Lembo Ade”.

No comments:

Tak SebeNing Namamu

Ning, konon begitu namamu Itu yang kudengar dari angin yang berhembus kencang Ning, sayang nasib tak  begitu ramah menghampirimu Gentar sese...