Oleh: Clara Novita Anggraini, S.I.Kom
Anda
pasti tidak asing lagi dengan kontrak belajar. Hampir kita semua pernah
mengecapnya, baik ketika kuliah maupun sekolah. Tetapi kontrak belajar dalam
tulisan ini mengambil sisi yang berbeda, bukan dari sisi yang dikenai,
melainkan yang mengenai. Benar sekali, kontrak belajar untuk para guru. Cerita
ini terjadi ketika saya berkesempatan mengisi pelatihan guru-guru di gugus
sekolah penempatan. Materi yang diminta adalah Pembelajaran Berbasis IT, Pembelajaran
Inovatif, dan Pembuatan RPP. Bersama seorang teman yang masih satu kecamatan, saya
berbagi tugas menjadi pemateri.
Mengingat
kami berada di pelosok Indonesia, permasalahan utama yang akan kami hadapi
mungkin mudah di tebak, yaitu mental para guru yang akan kami beri pelatihan. Di
tambah lagi, pelatihan ini dilakukan berdasarkan proyek KKG yang dananya
berhasil dicairkan. Mau tidak mau harus dilakukan, karena pertanggungjawabannya
sudah diminta. Kami menghadapi para guru senior yang usianya jauh di atas kami
(bahkan lebih tua dari orang tua kami), pilihan dari sekolahnya, dan dibayar
untuk mengikuti pelatihan ini. Benar saja, berbagai benturan kemudian terjadi selama
pelaksanaan pelatihan.
Pertama,
saat kami mnyampaikan kontrak belajar selama pelatihan. Kalau dulu saya pernah
mengalami shock karena bertemu seorang
pembicara yang merokok sambil memberikan materi saat mengikuti Latihan Kepemimpinan
Manajemen Mahasiswa tingkat fakultas, disini saya bertemu satu ruangan penuh
peserta guru laki-laki merokok. Tidak bisa dipungkiri hal ini didahului oleh pemateri sebelumnya yang
memiliki predikat senior dicivitas pelatihan. Subhanallah. Wow! Bisa anda bayangkan bagaimana rasanya masuk ke sebuah ruangan
yang penuh dengan asap rokok, padahal anda akan melakukan aktivitas belajar. Salah
satu point di kontrak belajar meminta
para peserta untuk tidak merokok selama mengikuti pelatihan.
Berbagai
protes muncul sewaktu point tidak
merokok ini disampaikan. Hingga kemudian saya bertanya: “Kalau boleh tahu kenapa
bapak-bapak keberatan dengan point
ini?” Salah seorang guru menjawab: “Saya itu tidak bisa konsentrasi kalau tidak
merokok”. “Oh begitu, bagaimana kalau saya katakan kalau saya tidak bisa
konsentrasi kalau saya menghirup asap rokok?”, tandas saya. Guru itu tersenyum,
tetapi ada komentar lain dari pojok belakang: “Tidak usah saja kalau begitu ni!”. Refleks saya menjawab: “Oke, ya sudah
kalau begitu kita sepakati, yang mau merokok silahkan tidak usah ikut saja,
silahkan keluar. Ini peraturan pelatihan standar nasional, kalau Dompu mau
maju, kita ikuti standar nasional”. Dalam hati saya deg-deg an setengah mati, tapi ini sudah saya persiapkan,
masyarakat Dompu harus dididik. Salah satu penyebab tidak dikenalnya Dompu
adalah masyarakatnya tidak mau membuka diri. Mereka harus melek, bahwa bukan
hanya Dompu saja peradaban di dunia ini, sehingga pemikiran mereka dapat terbuka
dan membawa kemajuan di Dompu.
Selanjutnya
tentu saja ada percobaan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Beberapa
saat setelah disepakatinya kontrak, setelah jeda istirahat, dan diwaktu
menjelang pulang. Ketika hal ini terjadi, saya kembali menanyakan kesiapan para
guru untuk mengikuti pelatihan: “Guru hebat!”, sapaan ini akan dijawab dengan
kata: “Siap!”. Saya ulangi beberapa kali sampai semua guru menjawab dengan
semangat. “Apakah sudah siap belajar?”, lanjut saya. Kebanyakan dari mereka
menjawab sudah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Kemudian
secara mendadak saya beri instruksi: “Oke, kami beri waktu lima menit. Yang masih
mengobrol silahkan selesaikan, yang merokok, yang ingin ke belakang, makan, dan
minum. Tapi setelah lima menit kita komitmen sudah rapi ya, dipersilahkan”. Para
peserta bengong dan langsung diam. Tapi saya komitmen, lima menit. Mungkin saya
kelewatan memperlakukan mereka sama persis seperti murid saya. Tapi biarlah
saya berikan shock culture, mereka
harus tahu, harus bisa tertib. Bagaimana dengan siswanya kalau gurunya seperti
ini? Meskipun saya yakin mereka sangat handal menertibkan murid dengan metode
menjewer, menampar, meninju, hingga menendang. Ah, mereka harus tahu, bahwa ada
cara yang lebih hemat energi untuk menertibkan siswa.
Beberapa
waktu sebelum pelatihan 4 hari ini dimulai, seorang guru bercerita pada saya. “Dulu
waktu pelatihan, selesainya bisa sampai
jam 3 sore dalam sehari. Tapi bisa juga dipadatkan, misalnya menjadi sabtu dan
minggu saja”. Dari obrolan ini saya berpikir, waktu normal pelatihan adalah jam
8 pagi sampai dengan jam 3 sore selama 4 hari, dipadatkan menjadi sabtu minggu
hanya sampai sore. Samakah?! Tapi obrolan ini cukuplah memberi tahu saya
perihal waktu dalam pandangan para guru Dompu. Sebagaimana perkiraan saya,
sedikit kericuhan terjadi. Ketika membagikan kertas bekas setelah jeda
istirahat untuk praktek membuat display kelas, ada seorang guru senior
laki-laki yang bertanya: ”Ini sampai jam berapa pelatihannya Bu Clara?”. “Di jadwal
sampai jam 3 Pak”, jawab saya. Si guru kembali menjawab: “ Kemarin cuma sampai
jam setengah dua ni!” Spontan saya
menjawab: “Begitu, jadi mau dikorupsikan waktunya?”. Si guru juga spontan
menjawab: “Yaa bukan begitu juga…”. Terdengar dengungan dari penjuru kelas. “Tidak
apa-apa pak, bapak dan ibu guru sekalian, ini kan pelatihan untuk bapak-bapak
dan ibu-ibu, kami hanya fasilitator, jika memang ingin pulang cepat ya tidak
apa-apa, kita sepakati saja. Yang punya kepentingan disini kan bapak dan ibu
guru sekalian, bukan kami”, tanggap saya mencoba demokratis. Sesi percakapan
ini kemudian diakhiri dengan pendapat seorang guru senior perempuan: “Tanya panitia
saja selesai jam berapa”. Panitia menginstruksikan pelatihan selesai jam 14.30,
setengah jam lebih cepat dari jadwal. Tapi tenang, kegiatan praktek di
pelatihan membuat waktu tidak terasa berlalu. Para guru asyik mengerjakan
display kelas hingga pukul 15.00. Jadilah pelatihan hari itu selesai pukul
15.10 WITA, he he. Saya berharap, semoga setiap guru bisa mengambil hikmah dari
pelatihan hari ini.
Hari
terakhir pelatihan tiba. Jadwal terakhir adalah micro teaching dari RPP yang sudah di buat secara perkelompok.
Karena waktu tidak cukup, akhirnya evaluasi micro
teaching untuk guru kelas (guru olah raga di ruang berbeda) ditunda setelah
ishoma, lagipula jadwal penutupan diundur hingga pukul 14.00, menunggu pejabat UPTD
datang. Tapi ternyata pejabat Diknas Kabupaten lebih cepat datang. Maka sedikit
keributan kembali terjadi ketika saya meminta guru kelas kembali masuk kelas
untuk mulai evaluasi. Beberapa guru olah raga mulai gelisah karena terancam
penutupan tidak segera dilaksanakan, ini berarti mereka tidak jadi pulang
cepat. Dari jauh saya menyaksikan kegelisahan itu. Panitia datang ke kelas kami
untuk membatalkan evaluasi dan langsung masuk ke kelas penutupan acara. Alhamdulillah
protes datang dari para peserta sendiri. “Kalau tidak dievaluasi, bagaimana
kami tahu yang kami kerjakan benar atau tidak, kami minta waktu sebentar saja”,
ujar para guru kelas kepada panitia yang akhirnya mempersilahkan.
Tapi
tidak semudah itu, tiga guru senior olah raga laki-laki bergantian
menginterupsi, menyalahkan kami dan memerintahkan segera mengakhiri kegiatan.
Bukan hanya guru ternyata, pejabat UPTD yang sudah datang juga turut menginterupsi
dengan masuk ke ruangan dan berjalan-jalan dengan gelisah. Aaaarrgghhh, suasana apa ini? Evaluasi mau tidak mau
tersendat-sendat, tidak konsentrasi. Para peserta pelatihan memandangi kami
dengan ekspresi tidak enak dan meminta maaf. Saya dan teman semakin belepotan
berbicara. Ketika ada yang menginterupsi lagi dari depan pintu saya berkata: “Bukan
kami pak yang mau, guru-guru sendiri yang minta dievaluasi”. Maka penginterupsi
itu pun mundur.
Pada
akhirnya, evaluasi micro teaching
tuntas dengan tidak memuaskan. Setelah buru-buru di tutup dan meminta maaf kami
segera meminta para guru untuk pindah kelas. Sambil membereskan barang-barang pelatihan
teman saya bertanya sinis, “Kita juga harus ikut penutupan ya?!” Saya tersenyum
dan berkata: “Lembo ade” (harap maklum), kita sudah beberapa kali mengalami, pejabat
itu tidak bisa menunggu, he he”.
Sampai
di tempat penutupan, saya agak terkejut dengan tanggapan Diknas Kabupaten,
bertolak belakang dengan yang saya bayangkan. Usut punya usut, ternyata pejabat
Diknas Kabupaten menginstruksikan untuk menyelesaikan terlebih dahulu evaluasi
dan bersedia menunggu. Lalu siapa yang ternyata tidak sabaran dengan memakai
pejabat Diknas sebagai alasan? Para guru olah raga. Hmm, saya hanya
senyum-senyum saja ketika sampai dua hari kemudian masih ada yang mengeluhkan:
“Sebenarnya kemarin itu harusnya dituntaskan dulu evaluasinya, guru-guru olah
raga ini yang tidak sabar, mereka taunya makan dan minta uang saja!”. Ups, sudah beberapa orang berkata begini.
Lalu dengan santai saya menjawab:” Iya bu… lembo ade”. Seperti biasa,
permasalahan seberat apapun di Dompu biasa diselesaikan dengan dua kata saja: “Lembo
Ade”.
No comments:
Post a Comment