NAWA
Oleh:
Clara Novita Anggraini, S.I.Kom
Seperti biasa, pagi itu Nawa membuka harinya dengan mencuci piring.
Tangannya begitu cekatan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah seperti ini.
Mencuci pakaian, memasak, membersihkan rumah bisa dilakukan dengan cepat. Tidak
mengherankan, karena sejak umur 3 tahun, remaja Taropo seperti Nawa diwajibkan
untuk terampil mengerjakan semua pekerjaan rumah itu.
Mirnawati nama lengkapnya. Ia tinggal di Desa Taropo yang terletak di ujung selatan Kecamatan Kilo, kecamatan paling utara Kabupaten Dompu,
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Karena letaknya yang jauh inilah Taropo jarang
dikenal. Masyarakat dompu di kecamatan lain banyak yang belum pernah
menginjakkan kaki di Taropo. Dengan countur
tanah yang berbukit-bukit dan terus menanjak ke atas, daerah ini mendapat
julukan Gunung Taropo.
Untuk mencapai Desa Taropo, ditempuh jarak kurang
lebih 67 km dari kota kabupaten. Akses kendaraan cukup sulit, dalam sehari
hanya ada sekitar 3 bis yang beroperasi, itu pun hanya dapat ditemui setelah ngojek sepanjang 7 km dari dalam Taropo.
Setelahnya, jalan menuju kota sangat rusak dan sering memakan korban jiwa.
Dengan akses yang sangat terbatas inilah Nawa
hidup. Maka Nawa tidak pernah kenal dengan sesuatu bernama internet. Nawa juga
tidak bisa berbahasa Indonesia. Padahal saat ini ia duduk di kelas 2 SMP.
Ketika ditanya berapa umurnya, Nawa menjawab tidak tahu. Ia tidak tahu tanggal
dan tahun lahirnya. Sebenarnya, Nawa lahir di Kota Kabupaten, Dompu. Tetapi
karena perceraian kedua orang tua, Nawa dan adiknya kemudian dititipkan ke
kampung halaman ibunya. Saat ini, ibunya tengah bekerja sebagai TKI di Arab
Saudi.
Tinggal bersama kerabat membuat Nawa harus
bekerja keras setiap hari. Seringkali hanya untuk memasak dan mencuci baju
keluarga Nawa mengorbankan sekolahnya. Ia juga sering mendapat orderan mengerjakan pekerjaan rumah
untuk kemudian di gaji. Setiap harinya Nawa hanya mendapat uang jajan Rp.2000
dari uang kiriman ibunya yang di atur oleh paman dan bibinya. Dari membantu
orang lain mengerjkan pekerjaan rumah, Nawa bisa mendapatkan uang tambahan
untuk jajan dan membayar fotokopian buku di sekolah. Meskipun begitu, Nawa
tetap ceria menjalani kehidupannya. Dalam benaknya, beginilah kehidupan yang
normal.
Ayahnya saat ini telah menikah lagi. Nawa
mempunyai ibu tiri persis seperti di cerita Cinderella.
Sesekali Nawa dan adiknya bertandang ke rumah ayah dan ibu tirinya, mereka
selalu bertengkar. Nawa dan adiknya hanya bisa diam. Secara ironi Nawa
menceritakan betapa baik ibu tirinya: “Persis seperti di sinetron-sinetron”.
Nawa tidak mengharapkan apapun dari ibu tirinya. Karena di benaknya, stigma ibu
tiri sedari awal memang kejam, seperti apa yang dikatakannya: sama seperti yang
digambarkan oleh sinetron yang mereka tonton. Sejak listrik masuk satu tahun
yang lalu, beberapa warga memang sudah mempunyai televisi meskipun harus dilengkapi
dengan parabola dan LCD untuk mendapatkan sinyal.
Terkadang Nawa juga tinggal di rumah neneknya
apabila rumah pamannya banyak tamu. Pamannya merupakan seorang tokoh masyarakat.
Karena itu, seringkali setelah membantu di rumah pamannya, Nawa akan tidur di
rumah nenek. Keadaan saat tinggal bersama neneknya tidak lebih baik. Setelah
anak-anaknya dewasa, nenek masih tetap bekerja di lahan seluas 1 Ha. Panen
musim ini hanya menghasilkan uang Rp.3.000.000, padahal panen hanya terjadi satu tahun sekali. Hanya
sekejap saja, uang tersebut habis untuk membayar hutang di kios dan bank saat
membuka lahan. Untuk makan selanjutnya, masih ada tanaman padi. Beras cukup melimpah
di Taropo, karena itu banyak warga yang hanya makan nasi dengan garam dan air. Jika
ada uang, micin dan cabai dibeli untuk menambah rasa. Meskipun sayur bisa
tumbuh subur di Taropo, tidak banyak warga yang menanam dan makan sayur. Belum
ada kesadaran hidup sehat di Taropo. Begitu juga dengan keluarga Nawa. Makanan
instan seperti mie dan micin merupakan makanan mewah.
Setelah mengerjakan berbagai pekerjaan rumah,
Nawa berangkat ke sekolah. Ketika tidak ada guru, Nawa pergi ke perpustakaan
untuk membaca buku. Tidak seperti teman-temannya yang gemar bernyanyi dan
menari menirukan girl band di televisi,
Nawa lebih suka membaca. Sayangnya, buku-buku di sekolah Nawa tidak bisa
dipinjam dan di bawa pulang. Hanya sedikit waktu yang dimiliki Nawa untuk bisa
membaca buku. Sekolah biasanya berakhir pada pukul 10:00 WITA, setelah dimulai
pada pukul 07:30. Guru yang jarang datang menjadi kendala utama. Kalaupun ada
guru yang datang, belum tentu mereka akan mengajar, siswa dibiarkan begitu
saja. Maka Nawa dan teman-teman terbiasa dengan pulang cepat dan tidak betah di
sekolah.
|
Sepulang sekolah, Nawa akan membantu keluarga
paman dan neneknya memasak atau membantu di lahan ketika musim panen. Menonton
televisi dapat dilakukan seharian apabila sedang ada waktu luang. Tidak seperti
teman-temannya, Nawa tidak suka nongkrong di pinggir jalan di malam hari. Kebanyakan
remaja
Taropo biasanya nongkrong
bersama-sama. Sekadar bercanda antara muda-mudi, saling cari kutu bagi remaja
putri, bermain kartu domino, sampai dengan judi pacuan kuda.
Memasang
nomor buntu (judi undian nomor) juga sangat digemari di Taropo. Mulai dari
anak-anak sampai dengan dewasa. Kemajuan teknologi juga tidak berdampak baik.
Judi pacuan kuda dilakukan via menonton tayangan pacuan kuda di stasiun
televisi tertentu. Watak yang keras menyebabkan masyarakat Taropo tidak mudah
di sentuh dengan hal positif. Meskipun semua penduduk beragama Islam, yang
datang memenuhi panggilan adzan shalat ke masjid hanya sekitar lima orang,
kebanyakan warga di usia sepuh. Masyarakat Taropo juga tidak mau menerima
penceramah yang belum sepuh.
Nawa adalah
salah satu dari sekian banyak remaja yang bernasib sama. Dititipkan kepada
kerabat sejak kecil oleh orang tua yang bercerai. Di daerah pelosok banyak
terjadi kasus perceraian. Entah karena kesulitan ekonmi, selingkuh, atau karena
tidak mempunyai pengetahuan agama yang cukup dalam menjalani hidup. Tidak ada
pemikiran untuk masa depan diri dan keluarga. Karena kesulitan ekonomi sang ibu
pergi ke Arab Saudi menjadi TKI. Tidak ada kasih sayang yang didapat secara
langsung oleh anak-anak korban perceraian seperti ini. Meski tidak pernah
shalat dan mengaji, Nawa berkekad untuk sekolah tinggi hingga menjadi guru.
Setelah itu, baru akan memikirkan menikah. Cita-cita Nawa, tentu berangkat dari
latar belakang keluarga yang dimilikinya. Diluar segala keterbatasan dan
keluguannya, remaja seperti Nawa tetap
hidup dengan ceria.
No comments:
Post a Comment